Kamis, 29 Juli 2010

ASI dan Rawat Gabung

PEMBERIAN ASI PADA BAYI YANG MENJALANI RAWAT GABUNG

       Sesuai program pemerintah, peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dapat dicapai antara lain dengan peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI). Hal ini meyebabkan posisi rumah sakit dengan kamar bersalin menjadi sangat vital, karena di sinilah pertama kali ibu mengadakan kontak dengan bayinya. Setelah bayi lahir dibutuhkan kontak kembali di kamar bersalin, baik untuk kepentingan nutrisi maupun kepentingan lainnya, sehingga diperlukan rawat gabung ibu dan bayinya (Sakura, 2009).
       Rawat gabung adalah suatu cara perawatan di mana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh seharinya. Pada saat rawat gabung bayi ditempatkan bersama ibunya dalam suatu ruangan sedemikian rupa sehingga ibu post partum dapat melihat dan menjangkaunya kapan saja bayi atau ibu membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam boks di samping tempat tidur ibu post partum, yang penting dari rawat gabung adalah ibu post partum bisa melihat dan mengawasi bayinya, apakah bayinya menangis karena lapar, kencing, digigit nyamuk dan sebagainya. Rawat gabung juga bertujuan agar ibu post partum dapat menyusui bayinya sedini mungkin, kapan saja dibutuhkan yang akan memberikan kepuasan pada ibu bahwa ia dapat berfungsi sebagaimana seorang ibu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya (Sakura, 2009).
        Rawat gabung pada ibu post partum merupakan suatu permulaan yang menunjang keberhasilan menyusui. Proses terjadinya pengeluaran ASI dimulai atau dirangsang oleh isapan mulut bayi pada putting susu ibu. Gerakan tersebut merangsang kelenjar pituitary anterior untuk memproduksi sejumlah prolaktin, hormon utama yang mengandalkan pengeluaran ASI. Proses pengeluaran ASI juga tergantung pada let down reflex, dimana hisapan putting dapat merangsang kelenjar pituitary posterior untuk menghasilkan hormon oksitosin, yang dapat merangsang serabut otot halus di dalam dinding saluran susu agar membiarkan susu dapat mengalir secara lancar (Siregar, 2004). 
        ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi. ASI terdiri dari berbagai komponen gizi dan non gizi. Komposisi ASI tidak sama selama periode menyusui, pada akhir menyusui kadar lemak 4-5 kali dan kadar protein 1,5 kali lebih tinggi daripada awal menyusui (Creasoft, 2008). Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia sekitar empat bulan. Setelah itu ASI berfungsi sebagai sumber protein, vitamin dan mineral utama untuk bayi yang mendapat makakanan tambahan yang tertumpu pada beras. Terjadinya masalah gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang kurang juga karena ASI banyak diganti dengan susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan (Siregar, 2004).
        ASI merupakan makanan yang bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan komposisi. Disamping itu ASI mudah dicerna oleh bayi dan langsung terserap. Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang melahirkan ternyata mampu menghasilkan air susu dalam jumlah yang cukup untuk keperluan bayinya secara penuh tanpa makanan tambahan. Selama enam bulan pertama, bahkan ibu yang gizinya kurang baikpun sering dapat menghasilkan ASI cukup tanpa makanan tambahan selama tiga bulan pertama. ASI sebagai makanan yang terbaik bagi bayi tidak perlu diragukan lagi, namun akhir-akhir ini sangat disayangkan banyak diantara ibu-ibu menyusui melupakan keuntungan menyusui. Selama ini dengan membiarkan bayi terbiasa menyusu dari alat pengganti, padahal hanya sedikit bayi yang sebenarnya menggunakan susu botol atau susu formula (Siregar, 2004).
        Menyusui memberi anak awal terbaik dalam hidupnya. Diperkirakan lebih dari satu juta anak meninggal tiap tahun akibat diare, penyakit saluran nafas dan infeksi lainnya karena mereka tidak disusui secara memadai. Menyusui juga membantu melindungi kesehatan ibu (Depkes RI, 2007).
        Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan menyusui ekslusif (exlucive breastfeeding) sejak lahir selama 6 bulan pertama hidup anak, dan tetap disusui bersama pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup samapi usia 2 tahun atau lebih. Namun sebagian besar ibu di banyak negara mulai memberi bayi makanan dan minuman buatan sebelum 6 bulan dan banyak yang berhenti menyusui jauh sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes RI, 2007). Data dari survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 1991 bahwa ibu, yang memberikan ASI pada bayi 0-3 bulan yaitu 47% diperkotaan dan 55% dipedesaan (Depkes, dalam Siregar 2004). Sedangkan data dari SKDI tahun 2003, pemberian ASI ekslusif 0-4 bulan, sebanyak 55,1%, pemberian ASI ekslusif 0-6 bulan 42,4%, pemberian ASI dengan botol 32,4% (Suradi, 2008).
        Pemberian ASI pada bayi yang menjalani rawat gabung merupakan suatu langkah awal yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, sehingga menjadi keharusan untuk sesegera mungkin memberikan ASI.

DAFTAR PUSTAKA
Creasoft, 2008, Produksi ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya, (onlien), available : http://creasoft.wordpress.com/2008/05/08/produksi-asi-dan-faktor-yang-mempengaruhinya/ (25 Februari 2010).

Depkes RI., 2007, Pelatihan Konseling Meyusui, Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.

Roesli, U., 2000, Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta : Trubus Agriwidya.

Sakura, S.A.A., 2009, Kamar Bersalin dan Rawat Gabung, (online), available : http://jangan-sakit.blogspot.com/2009/11/kamar-bersalin-dan-rawat-gabung.html, (30 Januari 2010).
 

Siregar, M.A., 2004, Pemberian ASI Ekslusif dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (online), available : http://library.usu.ac.id/dowload/fkm/fkm-arifin4.pdf, (30 Januari 2010).

Suradi, R., 2008, Manfaat ASI dan Menyusui, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

Diet DM_Gula Darah

PEMBERIAN DIET DM TERHADAP PERUBAHAN GULA DARAH PASEIN DIABETES MELITUS

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup. Pasien diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagi tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan di dalam darah itu melimpah ke sistem urine untuk dibuang melalui urine. Air kencing pasien diabetes yang mengandung gula dalam kadar tinggi tersebut menarik bagi semut, karena itulah gejala ini disebut juga gejala kencing manis (Yunia, 2007).
 Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi. Kurangnya insulin mengurangi efisiensi penggunaan glukosa, sehingga glukosa plasma meningkat menjadi 300 sampai1200 mg/100 ml. Peningkatan kadar glukosa plasma selanjutnya menimbulkan berbagai pengaruh di seluruh tubuh (Guyton, 2008). Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara perlahan. Menurut Direktur Gizi Masyarakat Dirjen BKM Depkes RI (2007), jika kadar gula darah terus menerus tinggi yang tidak terkontrol, lama kelamaan akan timbul penyulit (komplikasi) yang pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah misalnya : pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (dapat terjadi kebutaan), pembuluh darah ginjal (GGK) dan lain-lain. Jika sudah terjadi penyulit tersebut maka, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut kearah normal sangat sulit. Oleh karena itu, usaha pencegahan dini untuk penyulit tersebut diperlukan dan diharapkan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan.
 Komplikasi akut yang paling berbahaya pada penderita DM adalah terjadinya hipoglikemia (kadar gula darah sangat rendah), karena dapat mengakibatkan koma (tidak sadar) bahkan kematian bila tidak cepat ditolong. Keadaan hipoglikemia ini biasanya dipicu karena penderita tidak patuh dengan jadwal makanan (diet) yang telah ditetapkan, sedangkan penderita tetap minum obat anti diabetika atau mendapatkan injeksi insulin. Pemberian diet merupakan salah satu pilar utama pengelolaan diabetes mellitus, selain latihan jasmani, obat hipoglikemik, dan penyuluhan. Pemberian diet sangat penting, dimana penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda atau diperlambat dengan mengontrol kadar gula darah. Mengontrol kadar gula dapat dilakukan dengan ketaatan penderita melaksanakan diet.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J., 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Guyton, A. C., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Yunia, I. (2007) Mau Tahu Lebih Jauh Tentang Diabetes, (online) : available : http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=306 (2009, Desember 9)



Kamis, 22 Juli 2010

PKPR

PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR)

di Puskesmas Bangli, Bali

Remaja Indonesia dengan jumlahnya yang mencapai 42,2 juta (proyeksi tahun 2002) atau sekitar 20% dari populasi mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang beresiko terhadap kesehatannya. Perilaku beresiko yang mempengaruhi masalah kesehatan remaja meliputi tumbuh kembang (perubahan fisik dan psikososial), gizi, penyalahgunaan NAPZA dan kesehatan reproduksi termasuk IMS/ISR dan HIV/AIDS (Depkes R.I, 2008).

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini menyebabkan remaja dimanapun ia menetap, mempunyai sifat khas yang sama yaitu rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung resiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Sifat tersebut dihadapkan pada ketersediaan sarana di sekitarnya yang dapat memenuhi keingintahuan tersebut. Keadaan ini seringkali mendatangkan konflik bathin dalam dirinya. Apabila keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak tepat, mereka akan jatuh ke dalam perilaku beresiko dan mungkin harus menanggung akibat lanjutnya dalam bentuk berbagai masalah kesehatan fisik dan psikososial, yang bahkan mungkin harus ditanggung seumur hidupnya ( Depkes R.I, 2007 ).

Selain itu pada masa globalisasi ini, bila mana remaja tidak mampu menyeleksi informasi yang masuk, juga akan dapat menimbulkan masalah yang cukup serius, seperti anemia dan kurang gizi, penyakit menular seksual serta penyalahgunaan NAPZA. Oleh karena itu perlu dipersiapkan penanganan secara dini dengan pelayanan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan remaja (Depkes R.I, 2008)

Pada awal decade yang lalu penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropik dan Zat adiktif lainnya) pada remaja belum semarak seperti saat ini dan infeksi HIV dan AIDS masih amat langka yang menkhawatirkan. Kesehatan remaja pada masa itu belum menjadi prioritas. Keadaan tersebut berangsur berubah, terjadi kecenderungan peningkatan perilaku tidak sehat pada remaja.

Upaya Departemen Kesehatan RI untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut dilakukan melalui pendekatan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di puskesmas yang dimulai sejak tahun 2003. Mengingat jumlah remaja cukup besar dengan permasalahan yang kompleks serta berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup bangsa, maka pengembangan PKPR di setiap puskesmas tidak dapat ditunda lagi.

Program PKPR di Provinsi Bali mulai diperkenalkan pada tahun 2007. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali pada tahun 2008 terungkap bahwa dari 66.635 remaja laki-laki umur 15-19 tahun 0,68 % telah merokok dan 0,44 % pernah minum alkohol. Sedangkan dari 133928 remaja usia 10-14 tahun angka kejadian anemia sebesar 0,02 % pada remaja laki-laki dan 0,03 % pada remaja perempuan dan dari 133.529 remaja usia 15-19 tahun sebesar 0,01% pada remaja laki-laki dan 0,06 % pada remaja perempuan. Untuk kejadian IMS sebesar 0,03 % dari 66.635 remaja laki-laki usia 15-19 tahun.

Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli pada tahun 2008 terungkap bahwa dari 5.035 remaja laki-laki umur 15-19 tahun 0,99 % telah merokok dan 0,38 % pernah minum alkohol. Sedangkan dari 5.551 remaja perempuan usia 10-14 tahun angka kejadian anemia sebesar 0,04 % dan dari 4.012 remaja perempuan usia 15-19 tahun sebesar 0,07 % . Sedangkan dari data Puskesmas Bangli pada tahun 2008 didapatkan dari 1.833 remaja laki-laki umur 15-19 tahun 0,55 % telah merokok dan 0,44% pernah minum alkohol. Sedangkan dari 1.870 remaja perempuan usia 10-14 tahun angka kejadian anemia sebesar 0,05 % dan dari 1.510 remaja perempuan usia 15-19 tahun sebesar 0,07 %.

Tingginya perilaku beresiko pada remaja yang ditunjukkan dalam data-data diatas merupakan resultante dari sifat khas remaja, pengetahuan remaja tentang kesehatan, nilai moral yang dianut serta ada tidaknya kondisi lingkungan yang kondusif.

Faktor lingkungan yang menyebabkan perilaku beresiko pada remaja adalah kondisi lingkungan yang permisif terhadap perilaku beresiko (ketersediaan fasilitas atau sarana yang mendukung perilaku beresiko, ketiadaan penegakan hukum terkait kesehatan) atau bahkan mendorong perilaku beresiko (melalui informasi yang salah, iklan).

Perilaku beresiko yang mereka lakukan dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan tak diinginkan, terinfeksinya penyakit menular seksual, terpaparnya tindak kekerasan serta timbulnya komplikasi akibat penyalahgunaan NAPZA.

Semua keadaan yang disebutkan diatas menunjukkan besarnya masalah kesehatan pada remaja saai ini, dan mengisyaratkan perlunya penanganan dengan segera secara lebih bersungguh-sungguh.

Melihat kebutuhan remaja dan memperhitungkan tugas puskesmas sebagai barisan terdepan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, seharusnya puskesmas memberikan pelayanan yang layak kepada remaja sebagai salah satu kelompok masyarakat yang dilayaninya melalui pendekatan pelayanan kesehatan peduli remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2005) Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Direktorat Kesehatan Keluarga.

Depkes RI. (2005) Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Masyarakat Peduli Remaja di Puskesmas. Jakarta : Direktoral Kesehatan Keluarga. Direktoral Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI.

Depkes RI. (2006) Buku Peningkatan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK) Perawat & Bidan. Jakarta : Pusdiklat SDM Kesehatan Bekerjasama dengan Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan.

Depkes RI. (2007) Modul Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. (2008) Pedoman Perencanaan Pembentukan dan Pengembangan Puskesmas Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Kota/Kabupaten. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Pijat Bayi

MANFAAT PIJAT BAYI PADA BAYI DENGAN BERAT BADAN

LAHIR NORMAL

Proses kelahiran adalah suatu pengalaman traumatik bagi bayi karena bayi yang lahir harus meninggalkan rahim yang hangat, aman, nyaman, dan dengan keterbatasan ruang gerak menuju ke suatu dunia dengan kebebasan gerak tanpa batas, yang menakutkan, tanpa sentuhan-sentuhan yang nyaman dan aman di sekelilingnya, seperti halnya ketika berada dalam rahim. Proses kelahiran dimana pada waktu melalui jalan lahir si ibu, merupakan pengalaman pijat pertama yang dialami manusia. Sentuhan dan pijat bayi setelah kelahiran dapat memberikan jaminan adanya kontak tubuh berkelanjutan yang dapat mempertahankan perasaan aman pada bayi (Roesli, 2001).

Pijat adalah terapi sentuh paling tua dan paling popular yang dikenal manusia. Pijat adalah seni perawatan kesehatan dan pengobatan yang telah dipraktekkan sejak berabad-abad silam (Roesli, 2001). Sedangkan pijat bayi merupakan usaha yang positif untuk memperoleh kondisi optimal pada masa bayi tersebut karena merangsang semua kerja sistem sensorik dan motorik (Febriani, 2009).

Pijat bayi dipercaya banyak memiliki manfaat. Manfaat dari pijat bayi adalah dapat meningkat berat badan, meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan konsentrasi, membuat bayi tidur lebih lelap, membina ikatan kasih sayang antara ibu dan anak, dan meningkatkan produksi ASI. Penelitian Prof. T. Field & Scafidi (1986 & 1990) yang menunjukkan hasil bahwa memijat bayi dapat meningkatkan berat badan bayi, dimana disebutkan bahwa dua minggu setelah dipijat berat badanya naik sekitar 1,5 kali lipat dibandingkan sebelum dipijat dan hasilnya akan lebih optimal apabila dilakukan secara rutin. Selain itu, pada penelitian yang sama juga untuk bayi yang berusia 1-3 bulan, yang dipijat selama 15 menit, 2 kali seminggu selama 6 minggu didapatkan kenaikan berat badan yang lebih terkontrol (Roesli, 2001).

Terdapat variasi besar untuk berat badan yang dianggap normal pada bayi yang baru lahir. Berat rata-rata adalah antara 2,5-4,5 kg dan dan banyak bayi yang sehat berat badannya kurang atau lebih dari angka-angka tersebut tanpa ada masalah. Bayi biasanya kehilangan berat badan di hari-hari pertama setelah kelahiran, sekitar 10 persen dari berat lahir masih dianggap tidak apa-apa. Ini disebabkan oleh kehilangan kotoran (mekonium) melalui bab dan urin yang merupakan hal yang wajar. Berat badan bayi akan memperoleh kembali berat lahirnya di sekitar hari ke-10 dan banyak bayi yang sehat membutuhkan waktu yang lebih lama. Berat badan bayi meningkat secara tidak teratur. Bila dirata-rata, peningkatan berat badan berkisar pada 150-200 g per minggu, biasanya melambat setelah usia tiga bulan dan menjadi lebih lambat lagi setelah enam bulan (Wati, 2008).

Berat badan bayi ketika lahir dipengaruhi oleh kesehatan dan pola maka ibu ketika hamil, faktor genetik, gender maupun ras. Selama minggu pertama setelah lahir, berat badan bayi akan turun sebanyak 5-8% dari berat lahirnya. Hal ini karena bayi sedang beradaptasi dengan dunia yang baru dan selama proses itu bayi kehilangan sedikit cairan tubuhnya. Tetapi, setelah 2 sampai 3 minggu berikutnya berat badannya akan kembali ke berat ketika lahir (Novita, 2005).

Menurut Febriani (2009), pemijatan bayi dapat meningkatkan tonus nervus vagus-nya (saraf otak ke-10) yang menyebabkan kadar enzim penyerapan gastrin dan insulin naik sehingga penyerapan terhadap sari makanan menjadi lebih baik. Penyerapan makanan yang lebih baik akan menyebabkan bayi cepat lapar dan karena itu lebih sering menyusu, sehingga berat badan bayi dapat bertambah.

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. T. Field & Scafidi (dalam Roesli, 2001), menunjukkan bahwa pada 20 bayi premature (berat badan 1.280 dan 1.176 gram), yang dipijat selama 3 x 15 menit selama 10 hari, terjadi kenaikan berat badan 20% - 47% per hari, lebih dari yang tidak dipijat. Pada penelitian terhadap bayi cukup bulan yang berusia 1 – 3 bulan yang dipijat selama 15 menit sebanyak 2 kali seminggu untuk masa 6 minggu menunjukkan kenaikan berat badan yang lebih dari bayi kontrol.

Pemijatan bayi mempunyai banyak manfaat terhadap bayi maupun terhadap ibu yang menyusui. Ibu yang bayinya di pijat akan meningkatkan ikatan kasih sayang ibu dan bayinya, sedangkan bayi yang dipijat akan menyebabkan bayi cepat lapar, sehingga lebih sering menyusu. Produksi ASI yang lancar dari ibu dan bayi yang sering menyusu akan mempercepat terjadinya penambahan berat badan pada bayi yang dipijat. Penambahan berat badan bayi akan lebih baik pada bayi yang dilakukan pemijatan dari pada bayi yang tidak dilakukan pemijatan, karena pada pemijatan akan terjadi peningakatan metabolisme tubuh sehingga lebih mempercepat pertumbuhan dari pada bayi yang tidak dilakukan pemijatan.

DAFTAR PUSTAKA

Febriani, N., 2009, Pijat Bayi, Kaya Manfaat, (online), available : http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=17825, (25 Januari 2010).

Novita, D., 2005, Serba Serbi Berat Badan Si Kecil, (online), available : http://www.ibudananak.com/index.php?, (19 Februari 2010).

Roesli, U., 2001, Pedoman Pijat Bayi Prematur & Bayi Usia 0-3 Bulan, Jakarta : Trubus Agridya.

Wati, 2008, Pertumbuhan Bayi Sehat, (online), available : http://www.enformasi.com/2008/11/pertumbuhan-bayi-sehat.html, (24 Januari 2010).

Yanto, M., 2009, Berat Badan Si Kecil Turun, Normalkah itu?, (online) available : http://www.keperawatan.pediatrik.blogspot.com , (19 Februari 2010).

Rabu, 21 Juli 2010

Hubungan Perilaku Keluarga Dalam Merawat Klien Skizofrenia Terhadap Periode Kekambuhan di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali Tahun 2010.

ABSTRAK


Hubungan Perilaku Keluarga Dalam Merawat Klien Skizofrenia Terhadap Periode Kekambuhan di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali Tahun 2010.


Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Selain menggunakan obat-obatan, perilaku keluarga sangat penting dalam merawat klien dengan skizofrenia. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kambuhnya gangguan jiwa adalah perilaku keluarga yang tidak tahu cara menangani klien gangguan jiwa di rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku keluarga dalam merawat klien skizofrenia terhadap periode kekambuhan. Penelitian ini merupakan rancangan penelitian korelasi, dengan pendekatan cross sectional dan penelitian restrospektif. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 Maret sampai dengan 10 April 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 99 orang responden, sebagian besar yaitu sebanyak 53 orang (53,3 %) perilakunya kurang dan 75 orang (75,8%) periode kekambuhan kurang dari 1 tahun. Hasil analisa data dengan uji Spearman Rank didapatkan nilai probability (p) sebesar 0,005, yang berarti ada hubungan perilaku keluarga dalam merawat klien skizofrenia terhadap periode kekambuhan. Saran kepada keluarga klien agar meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan dalam merawat klien skizofrenia dan kepada teman sejawat agar lebih mengintensifkan pemberian penyuluhan tentang cara merawat klien skizofrenia di rumah.

Kata kunci : Perilaku keluarga ; periode kekambuhan ; skizofrenia

Mobilisasi Dini Pasien Post Operasi Seksio Sesarea

PENTINGNYA MOBILISASI DINI PADA PASIEN
 POST OPERASI SEKSIO SESAREA

 Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2001). Tindakan operasi seksio sesarea, biasanya dilakukan bila ada indikasi pada ibu yaitu panggul sempit absolute, tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, stenosis serviks/vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik dan ruptur uteri membakat, sedangkan indikasi dari janin berupa kelainan letak dan gawat janin (Wiknjosastro, 2000). Saat ini seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi tindakan seksio sesarea semakin sering dilakukan. 
Di Amerika Serikat, lebih dari 20% bayi dilahirkan melalui operasi sesarea (Arianto, 2009). Di tahun 2000 dilaporkan di dunia ini wanita melahirkan dengan seksio sesarea meningkat 4 kali dibandingkan 10 tahun sebelumnya, dilihat dari angka kejadian seksio sesarea dilaporkan di Amerika Serikat persalinan dengan seksio sesarea sebanyak 35% dari seluruh persalinan, Australia 35%, Skotlandia 43% dan Perancis 28%. Di Indonesia jumlah persalinan seksio sesarea juga mengalami peningkatan tahun 2005, jumlah persalinan dengan seksio sesarea sebanyak 8% dari seluruh persalinan, tahun 2006 15% dan tahun 2007 sebanyak 21%. 
Menurut Bensons dan Pernolls (dalam Evariny, 2009), angka kematian pada operasi sesarea adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan per vaginam. Bahkan untuk kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan per vaginam. Komplikasi tindakan anestesi sekitar 10 persen dari seluruh angka kematian ibu. Komplikasi lain yang dapat terjadi saat tindakan operasi sesarea dengan frekuensi di atas 11% antara lain: cedera kandung kemih, cedera pada rahim, cedera pada pembuluh darah, cedera pada usus dan dapat pula cedera pada bayi. Komplikasi yang jarang tetapi fatal adalah komplikasi emboli air ketuban yang dapat terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya cairan ketuban ke dalam pembuluh darah terbuka yang disebut sebagai embolus. Komplikasi lain yang dapat terjadi sesaat setelah operasi sesarea adalah infeksi yang banyak disebut sebagai morbiditas pasca operasi. Kurang lebih 90% dari morbiditas pasca operasi disebabkan oleh infeksi (infeksi pada rahim atau endometritis, alat-alat berkemih, dan luka operasi).
Operasi seksio sesarea merupakan bedah abdomen mayor dan memerlukan anestesi, baik anestesi umum maupun lokal. Anestesi umum adalah suatu cara untuk menghilangkan kesadaran disertai hilangnya rasa sakit diseluruh tubuh disebabkan pemberian obat-obat anestesi, sedangkan anestesi lokal adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagian dari tubuh atau pada daerah tertentu dari tubuh (Mochtar, 1998). Anestesi mempengaruhi ibu dan bayinya, bayi kelihatan lemah sampai sekitar 12 jam setelah dilahirkan. Pada saat efek anestesi habis, sakit di sekitar sayatan akan terasa (Arianto, 2009). Sedangkan menurut Nova (2008), efek samping anestesi bisa menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan ekstermitas.
 Untuk mencegah komplikasi post operasi seksio sesarea ibu harus segera dilakukan mobilisasi sesuai dengan tahapannya. Oleh karena setelah mengalami seksio sesarea, seorang ibu disarankan tidak malas untuk bergerak pasca operasi seksio sesarea, ibu harus mobilisasi cepat. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-hati. 
 Mobilisasi adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan (Sumantri, 2010). Sedangkan mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan (Soelaiman, dalam Efendi, 2008). Mobilisasi post seksio sesarea adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan sesarea. Adapun tujuan mobilisasi pada post seksio sesarea adalah untuk membantu jalannya penyembuhan pasien diikuti dengan istirahat (Sumantri, 2010). 
Kebanyakan dari ibu post seksio sesarea masih mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca operasi akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh yang baru saja selesai dilakukan operasi. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini perlu dikhawatirkan, bahkan justru hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Dan tentu ini akan mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan serta juga dapat mengurangi stress psikis (Kusmawan, 2008).
Bergerak akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik. Pengaruh latihan pasca pembedahan terhadap masa pulih ini, juga telah dibuktikan melalui penelitian penelitian ilmiah (Kusmawan, 2008).
Menurut Kasdu (dalam Efendi, 2008), mobilisasi dini dilakukan secara bertahap, adapun tahapan mobilisasi dini pada ibu post operasi seksio sesarea, yaitu setelah operasi, pada 6 jam pertama ibu pasca operasi seksio sesarea harus tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki. Setelah 6 – 10 jam, ibu diharuskan untuk dapat miring ke kiri dan ke kanan mencegah thrombosis dan trombo emboli. Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk. Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan (Efendi, 2008).

SUMBER :

Arianto, E., 2009, Operasi Cesar (seksio-C), (online), available : http://erwinarianto.multiply.com/journal/item/805/Operasi_Cesar_seksio-C, (18 Februari 2010).


Efendi, F., 2008, Mobilisasi Dini, (online), available : http://indonesiannursing.com/2008/05/25/mobilisasi-dini/, (1 April 2010).

Evariny, A., 2009, Operasi Sesarea, Amankah?, (online), available : http://www.hypno-birthing.web.id/?p=102, (18 Februari 2010).

Kusumawan, E., 2008, Pentingnya Bergerak Pasca Operasi, (online), available : http://spesialisbedah.com/2008/11/pentingya-bergerak-pasca-operasi/, (18 Februari 2010).

Mansjoer, A., 2001, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta : Media Aesculapius.

Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri : Obstetri Operatif, Obsetri Sosial, Jilid 2, Edisi 2, Jakarta : EGC.

Nova, 2008, Seputar Obat Bius: Lain Jenis, Lain Kegunaannya, (online), available :http://www.isfinational.or.id/artikel/59/743-seputar-obat-bius-lain-jenis-lain-kegunaannya.html (26 Februari 2010).

Sumantri, B., 2010, Mobilisasi Post Seksio Sesarea, (online), available : http://bsumantri44.blogspot.com/2010/01/mobilisasi-post-seksio-sesarea.html, (18 Februari 2010).

Wiknjosastro, H., 2000, Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi Pertama, Cetakan Kelima, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.