Jumat, 27 Agustus 2010

Pola pemberian ASI

Gambaran Pola Pemberian Asi Pada Ibu Post Partum 
Yang Menjalani Rawat Gabung Di Ruang Kamboja 
RSUD Karangasem Bali
Tahun 2010

Rawat gabung adalah suatu cara perawatan di mana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh seharian. Rawat gabung pada ibu post partum merupakan suatu permulaan yang menunjang keberhasilan menyusui. Proses terjadinya pengeluaran ASI dimulai atau dirangsang oleh isapan mulut bayi pada putting susu ibu.
Berdasarkan observasi pada tanggal 26 Februari 2010, dari 8 orang ibu yang menjalani rawat gabung, 6 orang ibu akan memberikan ASI ekslusif kepada bayinya yang diketahui dengan cara observasi dan wawancara dengan ibunya, dan 2 orang ibu yang memberikan ASI dan susu formula.
Untuk mengetahui gambaran pola pemberian ASI pada hari I dan II ibu post partum yang menjalani rawat gabung di Ruang Nifas RSUD Karangasem tahun 2010. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rangcangan penelitian deskriptif, dengan metode pendekatan time serie. Dalam kurun waktu selama 1 bulan, yaitu dari tanggal 1 sampai dengan 30 April 2010. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar observasi tentang pola pemberian ASI.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa dari 68 responden pada hari I, didapatkan sebanyak 1 orang (1,5%) responden yang memberikan susu formula saja dan 22 orang (32,3%) yang memberikan ASI dan susu formula, sedangkan 45 orang (66,2%) yang memberikan ASI saja. Pada pengamatan hari kedua didapatkan sebanyak 24 orang (35,3%) ibu yang memberikan ASI dan susu formula dan 44 orang (64,7%) yang memberikan ASI saja.
Mengingat demikian besar manfaat pemberian ASI, untuk itu kepada ibu-ibu post partum, agar selalu memberikan ASI ekslusif kepada bayinya sampai berumur 6 bulan, oleh karena ASI mempunyai banyak manfaat bagi bayi, dan supaya tidak malas memberikan ASI. Kepada teman sejawat di Ruang Nifas RSUD Karangasem, agar lebih intesif dalam memberikan penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI saja (ASI eksklusif) pada bayi sampai umur 6 bulan. Dan bagi peneliti selanjutnya, agar mengembangkan penelitian ini lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor apa saja mempengaruhi ibu post partum dalam memberikan susu formula, untuk dapat mengantisipasi guna mengurangi penggunaan susu formula.

Pengaruh pijat bayi

PENGARUH PIJAT BAYI TERHADAP PENAMBAHAN BERAT BADAN BAYI LAHIR NORMAL DI RUANG PERINATOLOGI 
RSUD KARANGASEM-BALI TAHUN 2010

Pijat bayi merupakan usaha yang positif untuk memperoleh kondisi optimal pada masa bayi tersebut karena merangsang semua kerja sistem sensorik dan motorik. Manfaat dari pijat bayi adalah dapat meningkat berat badan, meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan konsentrasi, membuat bayi tidur lebih lelap, membina ikatan kasih sayang antara ibu dan anak, dan meningkatkan produksi ASI. 
Data dari catatan medik di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Daerah Karangasem, dalam 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Oktober 2009 sebanyak 95 orang, bulan Nopember sebanyak 66 orang dan pada bulan Desember 2009 sebanyak 61 orang, dengan rata-rata berat badan bayi lahir normal 2.900 gram dan rata-rata berat badan bayi saat pulang adalah 2.950 gram. 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tehnik pemijatan bayi terhadap penambahan berat badan bayi lahir normal. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian experiment semu, dengan model pendekatan subyek the non randomized control group pre test post test design, dimana kelompok eksperimen diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan. Pada kedua kelompok diawali dengan pre-test, dan setelah pemberian perlakuan selesai diadakan pengukuran kembali (post-test), baik pada kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan.  
Berdasarkan hasil uji statistik (uji t test) pada kelompok perlakuan, didapatkan didapatkan nilai signifikasi yaitu 0,000 (nilai p < 0,05), dengan rata-rata selisih perbedaan 1.720. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan juga nilai signifikasi yaitu 0,000 (nilai p < 0,05), dengan rata-rata selisih perbedaan 1.217. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh tehnik pemijatan bayi terhadap penambahan berat badan bayi normal.
Mengingat demikian besar manfaat dari pemijatan bayi baru lahir dengan berat badan lahir normal, maka penulis menyarankan kepada teman sejawat, agar lebih mengintensifkan tindakan pemijatan bayi untuk membantu meningkatkan penambahan berat badan bayi normal. Dan bagi peneliti lain yang inggin melanjutkan penelitian ini diharapkan agar mengembangkan penelitian ini lebih luas, seperti melakukan penelitian dengan waktu yang lebih lama.

Mobilisasi pasien post seksio sesarea

Pelaksanaan Langkah-Langkah Mobilisasi Dini Pada Pasein 
Post Seksio Sesarea Di Ruang Kamboja 
RSUD Karangasem-Bali Tahun 2010

Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Untuk mencegah komplikasi post operasi seksio sesarea ibu harus segera dilakukan mobilisasi sesuai dengan tahapannya. Oleh karena setelah mengalami seksio sesarea, seorang ibu disarankan tidak malas untuk bergerak pasca operasi seksio sesarea, ibu harus mobilisasi cepat. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-hati. Mobilisasi post seksio sesarea adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan sesarea. 
Berdasarkan hasil observasi dari 10 orang pasien post operasi seksio sesarea, didapatkan sebanyak 7 orang (70 %) telah melakukan mobilisasi dan 3 orang (30 %) tidak melakukan mobilisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan langkah-langkah mobilisasi dini pada pasien post seksio Sesarea Rancangan yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptip, dengan metode pendekatan yang dilakukan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan, yaitu pada bulan April 2010. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan sesuai dengan variabel yang diteliti adalah dengan observasi.
Hasil penelitian didapatkan bahwa mobilisasi dini pasien post operasi seksia sesarea adalah baik yaitu sebanyak 23 orang (74%), cukup sebanyak 4 orang (13 %), dan kurang sebanyak 4 orang (13%).
Mengingat demikian besar manfaat mobilisasi dini untuk itu perlu kiranya pasien agar lebih efektif untuk melaksanakan mobilisasi dini dan jangan takut untuk bergerak karena mempunyai manfaat yang baik bagi proses penyembuhan. Kepada teman sejawat, agar lebih intensif melakukan penyuluhan tentang pentingnya mobilisasi dini kepada pasien post operasi seksio sesarea, selain itu juga diharapkan petugas mengobservasi kemampuan pasien dalam melakukan mobilisasi dini pada pasien post operasi. Dan kepada peneliti selanjutnya, agar melanjutkan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini yang belum baik, guna dapat mengetahui penyebab pasien kurang melakukan mobilisasi dini.

Rabu, 11 Agustus 2010

percobaan bunuh diri (PBD)

PERCOBAAN BUNUH DIRI

Pengertian Percobaan Bunuh Diri
Percobaan bunuh diri adalah perbuatan merusak diri sendiri yang dilakukan dengan keinginan destruktif, tetapi tidak nyata atau ragu-ragu (Suwanto, 2009).
Menurut Maramis (2005) tentang percobaan bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan sengaja dilakukan oleh seorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu singkat.
Menurut Clinton, 1995 (dalam Yosep, 2009) pengertian yang lebih lengkap dari Suswanto dan Maramis tentang bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri ini meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.

Jenis Gangguan Jiwa yang Berhubungan dengan Percobaan Bunuh Diri.

Menurut laporan Rumah Sakit Jiwa Lawang (2007) beberapa gangguan jiwa yang berhubungan dengan resiko peningkatan bunuh diri pada beberapa jenis gangguan jiwa, yaitu :
1. Depresi, merupakan salah satu gangguan perasaan dan gangguan jiwa yang paling berhubungan dengan terjadinya bunuh diri. Kondisi sedih atau berduka yang normal biasanya mempunyai efek yang tidak mendalam dan berlangsung lebih singkat, dibandingkan dengan gangguan depresi. Para ahli melaporkan bahwa 20%-60% kematian oleh karena bunuh diri terjadi pada mereka yang mengalami gangguan perasaan.
2. Gangguan afektif bipolar, merupakan kondisi yang umum dijumpai, dan diantara gangguan mental sebagai penyebab ketidakmampuan atau disabilitas. Gangguan bipolar dapat mengalami bunuh diri 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan penduduk biasa.
3. Skizofrenia, studi yang dilakukan WHO melaporkan bahwa angka kematian tertinggi pada kasus skizofrenia disebabkan karena bunuh diri. Diperkirakan terdapat 4-10% resiko kejadian bunuh diri sepanjang rentang kehidupan penderita skizofrenia dan 40% angka percobaan bunuh diri.

Kategori Percobaan Bunuh Diri

Percobaan bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 (tiga), (Stuart dan Sundeen, 1995), yaitu :
1. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri merupakan peringatan verbal dan nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya, dan sebagainya. Pesan-pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian. Kurangnya respons positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
Sedangkan menurut Schidman dan Farberow (dalam Maramis, 2005) membagi orang yang melakukan bunuh diri menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
1. Mereka yang percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab mereka memandang bunuh diri sebagai peralihan menuju ke kehidupan yang lebih baik atau mempunyai arti untuk menyelamatkan nama baiknya (misalnya : hara-kiri).
2. Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang kehilangan anak, atau cacat jasmaninya, yang menganggap bunuh diri sebagai suatu jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan bagi mereka.
3. Mereka yang psikotik, dan bunuh diri disini merupakan jawaban terhadap halusinasinya atau wahamnya.
4. Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya bahwa karena bunuh diri orang lain akan berduka cita dan mereka sendiri akan dapat menyaksikan kesusahan orang lain itu.
Tanda-tanda risiko berat dan bahaya bunuh diri
Solomom (dalam Maramis, 2005) membagi besarnya risiko bunuh diri dengan melihat adanya tanda-tanda tertentu, yaitu : tanda-tanda risiko berat dan tanda-tanda bahaya. Seperti pada uraian berikut ini :

Tanda-tanda risiko berat

Tanda-tanda risiko berat perilaku bunuh diri, adalah sebagai berikut :
1. Keinginan mati yang sungguh-sungguh, pernyataan yang berulang-ulang bahwa ia ingin mati.
2. Adanya depresi dengan gejala rasa salah dan dosa terutama terhadap orang-orang yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum berat, rasa cemas yang hebat, rasa tidak berharga lagi, sangat berkurangnya nafsu makan, seks dan kegiatan, serta adanya gangguan tidur yang berat.
3. Adanya psikosa; terutama penderita psikosa yang implusif, serta adanya perasaan curiga, ketakutan dan panik. Keadaan semakin berbahaya bila penderita mendengar suara yang memerintahkan membunuh dirinya.

Tanda-tanda bahaya

Tanda-tanda bahaya perilaku bunuh diri, adalah sebagai berikut :
1. Pernah melakukan percobaan bunuh diri.
2. Penyakit yang menahun.
3.iKetergantungan obat dan alkohol : alkohol dan beberapa obat mempunyai efek melemahkan kontrol dan mengubah dorongan (implus) sehingga memudahkan bunuh diri.
4.iHipokhondriasis : keluhan fisik yang konstan dan bermacam-macam tanpa sebab organis dapat menimbulkan depresi yang berbahaya.
5.iBertambahnya umur : terutama pada pria, bertambahnya umur tanpa pekerjaan atau kesibukan yang berarti dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak berguna.
6. Pengasingan diri : hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat menolong dan mengatasi depresi yang berat.
7. Kebangkrutan kekayaan : individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau harapan masa depan, mempunyai gairah untuk hidup kurang dari pada yang mempunyai keluarga dan kedudukan sosial yang lebih berhasil.
8. Catatan bunuh diri : setiap catatan bunuh diri harus dianggap sebagai tanda bahaya.

DAFTAR PUSTAKA
Maramis, W.F., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan, Surabaya : Airlangga University Press.

Mustikasari, 2007, Penelitian Bunuh Diri, (online), available : http://www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=print&sid=175 Diakses 7 Oktober 2009.

Rumah Sakit Jiwa Lawang, 2007, Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko Gangguan Mental dan Bunuh Diri, (online), available : http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html Diakses 7 Oktober 2009. Diakses 7 Oktober 2009.

Stuart dan Sundden, 1995, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3, Jakarta : EGC.

Suwanto, 2009, Bunuh Diri, (online), available : http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php? Diakses 7 Oktober 2009.

Wangmuba, 2009, Bunuh Diri dan Psikologis, (online), available : http://wangmuba.com/2009/04/13/bunuh-diri-dan-psikologi/ Diakses 7 Oktober 2009

Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama

Percobaan bunuh diri

PENOMENA BUNUH DIRI DAN FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI

Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri ini meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri (Clinton, 1995, dalam Yosep 2009). Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam. Kasus bunuh diri bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, tetapi juga merambah pada usia anak-anak dan remaja. Masalah yang sering dijumpai pada bunuh diri adalah krisis yang menyebabkan penderitaan yang berat dan perasaan putus asa dan tidak berdaya, konflik antara bertahan untuk hidup dan stress yang tidak dapat ditahan, sempitnya pilihan yang dimiliki dan harapan untuk membebaskan diri.

Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau setiap 40 detik. Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain karena faktor kecelakaan. Sejak tahun 1958 dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang di antaranya meninggal akibat bunuh diri. Urutan pertama diduduki Jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika dilaporkan tiap 24 menit seorang meninggal akibat bunuh diri dan setiap tahunnya 30.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk negara yang warganya sering diberitakan media melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau merobek perut sendiri) sering dilakukan demi suatu kehormatan (Yosep, 2009), sedangkan menurut Prayitno (dalam Yosep, 2009), pendataan mengenai kasus bunuh diri di Indonesia masih jelek. Dari data yang diambil di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma, terdapat 1.119 kasus bunuh diri dari tahun 2004-2005. Sedangkan data di Bali didapatkan kasus bunuh diri sebanyak 134 kali selama tahun 2008, meningkat bila dibandingkan dengan 2007 yang tercatat sebanyak 109 kasus (Mutadin, 2009).

Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya dan memerlukan penanganan segera (Stuart dan Laraia, 1998, dalam Mustikasari, 2007). Hampir 90% individu yang melakukan bunuh diri didiagnosa mengalami gangguan psikologis, dan yang paling utama adalah depresi, skizofrenia, dan ketergantung serta penyalahgunaan alkohol (Duberstein & Conwell, dalam Wangmuba, 2009). Sedangkan angka percobaan bunuh diri mencapai 10-20 kali bunuh diri. Gangguan kesehatan jiwa menjadi faktor predisposisi terpenting terjadinya bunuh diri, karena mereka yang terkena gangguan jiwa ternyata 10 kali berisiko melakukan bunuh diri dibanding yang tidak mengalami gangguan jiwa (Fadilah, 2006). Hal ini juga didukung oleh studi yang dilakukan WHO yang melaporkan bahwa angka kematian tertinggi pada kasus skizofrenia disebabkan karena bunuh diri. Sedangkan menurut Keliat, 1993 (dalam Mustikasari, 2007) penyebab perilaku bunuh diri pada individu gangguan jiwa karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalahnya.

Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi bunuh diri pada klien dengan gangguan jiwa adalah faktor mood dan biokimia otak; faktor meniru dan pembelajaran; faktor isolasi sosial dan human relations; faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar; dan faktor relegiusitas.

DAFTAR PUSTAKA

Maramis, W.F., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan, Surabaya : Airlangga University Press.

Mustikasari, 2007, Penelitian Bunuh Diri, (online), available : http://www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=print&sid=175 Diakses 7 Oktober 2009.

Rumah Sakit Jiwa Lawang, 2007, Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko Gangguan Mental dan Bunuh Diri, (online), available : http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html Diakses 7 Oktober 2009. Diakses 7 Oktober 2009.

Wangmuba, 2009, Bunuh Diri dan Psikologis, (online), available : http://wangmuba.com/2009/04/13/bunuh-diri-dan-psikologi/ Diakses 7 Oktober 2009

Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama

demam berdarah

PENINGKATAN KASUS DEMAM BERDARAH DI BALI

Demam dengue adalah penyakit febris virus akut, sering kali disertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leucopenia sebagai gejalanya. Demam berdarah dengue (DHF) ditandai oleh empat manifestasi klinis utama, yaitu : demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien DHF dapat mengalami syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut dengue syok sindrom (DSS) dan dapat menjadi fatal, dimana bisa mengakibatkan kematian (WHO, 1999).

Demam berdarah dengue dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun orang dewasa. Penyebab penyakit ini adalah virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia secara langsung, tetapi dapat ditularkan melalui nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti betina menyimpan virus dengue pula telurnya, selanjutnya akan menularkan virus tersebut ke manusia melalui gigitan. Sekali menggigit, nyamuk akan berulang menggigit orang lain sehingga dengan mudah darah seseorang yang mengandung virus dengue dapat cepat dipindahkan ke orang lain, yang dapat menyebabkan epidemi (Hastuti, 2008).

Epidemi DHF dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh di Amerika, Eropa selatan, Afrika Utara, Asia dan Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, Pasifik selatan dan tengah serta Karibia. Pada tahun 1996, 2500-3000 juta orang tinggal di area yang potensial berisiko terhadap penularan virus dengue. Setiap tahun, diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkan kira-kira 24 juta kematian (WHO, 1999). Kejadian Luar Biasa (KLB) DHF terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CRF = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%. Pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu : 15,99 (2000), 21,66% (2001), 19,24 (2002), dan 23,67% (2003). Sedangkan pada tahun 2004 di kasus DHF di Indonesia mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53%). Kasus tertinggi terdapat di Propinsi Jakarta (11.534 orang), sedangkan CFR terendah terdapat di Propinsi NTT (3,96%) (Adimidjaja, 2004). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus DHF di Indonesia tercatat 137.469 kasus dengan korban meninggal 1.187 jiwa tahun 2008. Sdangkan sepanjang tahun 2009 jumlah kasus naik menjadi 154.855 kasus dan 1.384 meninggal dunia (Lara, 2010)

Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Adimidjaja, 2004).

Kasus DHF di Bali pada dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Tahun 2008 ratio kasus DHF 161/100.000 penduduk. Tahun 2009 meningkat menjadi 181,3/100.000 penduduk (Suardana, 2010). Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr. Nyoman Suteja, pada tahun 2010 kasus demam berdarah di Bali selama tiga bulan periode Januari - Maret tercatat 1.227 kasus, dari jumlah penderita sebanyak itu, telah mengakibatkan 12 orang di antaranya meninggal dunia (Krjogja, 2010).

Meledaknya kasus deman berdarah dengue di Bali terutama di Denpasar salah satu disebabkan makin berkurangnya predator nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan ikan-ikan yang memangsa nyentik nyamuk dulunya begitu banyak di sungai-sungai terutama di Denpasar kini sulit didapat. Kecenderungan warga membuang limbah ke sungai karena lahan pekarangan yang dulunya dipakai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga kini makin berkurang, sehingga menjadi pemicu berkembangan nyamuk Aedes aegepti (Suardana, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Adimidjaja, T.K. (2004). Demam Berdarah Dengue. Diperoleh tanggal 7 Juli 2010, dari http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm

Hastuti, O. (2008). Demam Berdarah Dengue : Penyakit & Cara Pencegahannya, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Krjogja, (2010), Kasus DBD, Bali Urutan Kedua Setelah Jakarta. Diperoleh tanggal 7 Juli 2010, dari http://www.krjogja.com/news/detail/28451/Kasus.DBD..Bali.Urutan.Kedua.Setelah.Jakarta.html

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta : Media Aesculapius.

WHO (1999). Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian, Edisi 2, Jakarta : EGC.

Pemberian ASI

PEMBERIAN ASI PADA BAYI YANG MENJALANI RAWAT GABUNG

Sesuai program pemerintah, peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dapat dicapai antara lain dengan peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI). Hal ini meyebabkan posisi rumah sakit dengan kamar bersalin menjadi sangat vital, karena di sinilah pertama kali ibu mengadakan kontak dengan bayinya. Setelah bayi lahir dibutuhkan kontak kembali di kamar bersalin, baik untuk kepentingan nutrisi maupun kepentingan lainnya, sehingga diperlukan rawat gabung ibu dan bayinya (Sakura, 2009).

Rawat gabung adalah suatu cara perawatan di mana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh seharinya. Pada saat rawat gabung bayi ditempatkan bersama ibunya dalam suatu ruangan sedemikian rupa sehingga ibu post partum dapat melihat dan menjangkaunya kapan saja bayi atau ibu membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam boks di samping tempat tidur ibu post partum, yang penting dari rawat gabung adalah ibu post partum bisa melihat dan mengawasi bayinya, apakah bayinya menangis karena lapar, kencing, digigit nyamuk dan sebagainya. Rawat gabung juga bertujuan agar ibu post partum dapat menyusui bayinya sedini mungkin, kapan saja dibutuhkan yang akan memberikan kepuasan pada ibu bahwa ia dapat berfungsi sebagaimana seorang ibu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya (Sakura, 2009).

Rawat gabung pada ibu post partum merupakan suatu permulaan yang menunjang keberhasilan menyusui. Proses terjadinya pengeluaran ASI dimulai atau dirangsang oleh isapan mulut bayi pada putting susu ibu. Gerakan tersebut merangsang kelenjar pituitary anterior untuk memproduksi sejumlah prolaktin, hormon utama yang mengandalkan pengeluaran ASI. Proses pengeluaran ASI juga tergantung pada let down reflex, dimana hisapan putting dapat merangsang kelenjar pituitary posterior untuk menghasilkan hormon oksitosin, yang dapat merangsang serabut otot halus di dalam dinding saluran susu agar membiarkan susu dapat mengalir secara lancar (Siregar, 2004).

ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi. ASI terdiri dari berbagai komponen gizi dan non gizi. Komposisi ASI tidak sama selama periode menyusui, pada akhir menyusui kadar lemak 4-5 kali dan kadar protein 1,5 kali lebih tinggi daripada awal menyusui (Creasoft, 2008). Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia sekitar empat bulan. Setelah itu ASI berfungsi sebagai sumber protein, vitamin dan mineral utama untuk bayi yang mendapat makakanan tambahan yang tertumpu pada beras. Terjadinya masalah gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang kurang juga karena ASI banyak diganti dengan susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan (Siregar, 2004).

ASI merupakan makanan yang bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan komposisi. Disamping itu ASI mudah dicerna oleh bayi dan langsung terserap. Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang melahirkan ternyata mampu menghasilkan air susu dalam jumlah yang cukup untuk keperluan bayinya secara penuh tanpa makanan tambahan. Selama enam bulan pertama, bahkan ibu yang gizinya kurang baikpun sering dapat menghasilkan ASI cukup tanpa makanan tambahan selama tiga bulan pertama. ASI sebagai makanan yang terbaik bagi bayi tidak perlu diragukan lagi, namun akhir-akhir ini sangat disayangkan banyak diantara ibu-ibu menyusui melupakan keuntungan menyusui. Selama ini dengan membiarkan bayi terbiasa menyusu dari alat pengganti, padahal hanya sedikit bayi yang sebenarnya menggunakan susu botol atau susu formula (Siregar, 2004).

Menyusui memberi anak awal terbaik dalam hidupnya. Diperkirakan lebih dari satu juta anak meninggal tiap tahun akibat diare, penyakit saluran nafas dan infeksi lainnya karena mereka tidak disusui secara memadai. Menyusui juga membantu melindungi kesehatan ibu (Depkes RI, 2007).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan menyusui ekslusif (exlucive breastfeeding) sejak lahir selama 6 bulan pertama hidup anak, dan tetap disusui bersama pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup samapi usia 2 tahun atau lebih. Namun sebagian besar ibu di banyak negara mulai memberi bayi makanan dan minuman buatan sebelum 6 bulan dan banyak yang berhenti menyusui jauh sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes RI, 2007). Data dari survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 1991 bahwa ibu, yang memberikan ASI pada bayi 0-3 bulan yaitu 47% diperkotaan dan 55% dipedesaan (Depkes, dalam Siregar 2004). Sedangkan data dari SKDI tahun 2003, pemberian ASI ekslusif 0-4 bulan, sebanyak 55,1%, pemberian ASI ekslusif 0-6 bulan 42,4%, pemberian ASI dengan botol 32,4% (Suradi, 2008).

Pemberian ASI pada bayi yang menjalani rawat gabung merupakan suatu langkah awal yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, sehingga menjadi keharusan untuk sesegera mungkin memberikan ASI.

DAFTAR PUSTAKA

Creasoft, 2008, Produksi ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya, (onlien), available : http://creasoft.wordpress.com/2008/05/08/produksi-asi-dan-faktor-yang-mempengaruhinya/ (25 Februari 2010).

Depkes RI., 2007, Pelatihan Konseling Meyusui, Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.

Roesli, U., 2000, Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta : Trubus Agriwidya.

Sakura, S.A.A., 2009, Kamar Bersalin dan Rawat Gabung, (online), available : http://jangan-sakit.blogspot.com/2009/11/kamar-bersalin-dan-rawat-gabung.html, (30 Januari 2010).

Siregar, M.A., 2004, Pemberian ASI Ekslusif dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (online), available : http://library.usu.ac.id/dowload/fkm/fkm-arifin4.pdf, (30 Januari 2010).

Suradi, R., 2008, Manfaat ASI dan Menyusui, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

Senin, 02 Agustus 2010

Cedera Kepala

WASPADAI BAHAYA CEDERA KEPALA

Cedera kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang tenggorak maupun otak. Sedangkan cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2001).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer, 2000).
Cedera kepala akibat trauma sering dijumpai di lapangan. Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah tersebut 10% pasien meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 pasien mengalami berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).
Menurut bobotnya, cedera kepala dibagi menjadi tiga, yaitu : ringan, sedang dan berat. Yang paling banyak terjadi adalah cedera kepala ringan, yaitu 85% dari semua kasus. Selebihnya dalam kategori sedang dan berat. Cedera kepala ringan banyak tercatat di unit gawat darurat rumah sakit dan praktik dokter, yang dikenal sebagai concussion (gegar otak). Sebagian besar bisa membaik dan pulih dalam waktu 3-6 bulan, tetapi 15 % diantaranya mengalami problem kronis (gangguan) dalam emosi dan berpikir. Gangguan yang terjadi setelah pasien mengalami gangguan cedera kepala ringan dapat berupa nyeri kepala, vertigo (gangguan keseimbangan), mudah lupa, lamban, fatique (mudah lelah), serta sensitif terhadap suara dan sinar (Pujonarko, 2009).
Setelah mengalami cedera kepala, pasien berisiko mengalami cedera yang sama dan berulang 2-3 kali lipat. Hal ini disebabkan perhatian pasien berkurang, reaksi lebih lambat (lebih impulsif), dan sulit mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Cedera kepala berulang ini mengakibatkan kerusakan otak yang lebih besar. Komplikasi yang terjadi, harus diperhatikan sebagai komplikasi cedera kepala. Yang sering terjadi terutama kejang pascatrauma. Ini salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi pada awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42 % (7 hari setelah trauma). Komplikasi yang lain menurut penelitian William (2001) terhadap 215 pasien cedera kepala menunjukkan, pada pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri (kejiwaan) setelah enam bulan. Ini dipengaruhi lamanya koma, lama amnesia pascatrauma, area kerusakan cedera pada otak, mekanisme cedera, dan umur (Pujonarko, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. (2001) Buku Saku Patofiologi. Jakarta : EGC

Mansjoer, A. (2001) Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Jakarta : Media Aesculapius.

Pujonarko, D. (2009) Mewaspadai Cedera Kepala, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/06/11/67360/Mewaspadai-Cedera-Kepala (diperoleh 7 Juni 2010)

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol 3. Jakarta : EGC.