Selasa, 26 Oktober 2010

Hubungan Imunisasi dengan Kejadian ISPA

IMUNISASI DAN ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, rongga telingga tengah dan pleura. ISPA secara umum berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2002). World Health Organization (WHO), memperkirakan insidens infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pnemonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ±4 juta anak balita setiap tahun (Depkes RI, 2000, dalam Syair, 2009).

Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, menghadapi banyak masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi dan kurang gizi masih termasuk penyebab kematian balita, sehingga pada tahun 2004 Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu 52 per 1.000 kelahiran hidup. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2004) menyatakan bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian bayi serta balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh ISPA bagian bawah (Gulo, 2009). Sedangkan menurut Hasnerita (2003) ISPA merupakan penyebab kematian kedua setelah gangguan perinatal, data menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), gangguan perinatal menyebabkan kematian balita di pulau Jawa dan Bali sebesar (33,5%), dan dikuti oleh infeksi saluran pernafasan akut, dengan angka kematian balita di pulau Jawa dan Bali sebesar 32,1%.

Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Penyebab ISPA pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Penyebab ISPA di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara berkembang streptococcus pnemonia dan haemophylus influenza (Sofianty, 2009). Sedangkan menurut Prabu (2009), secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Pada faktor individu anak, faktor risikonya terdiri dari : umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi.

Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita pneumonia yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara statistis. Menurut penelitian yang dilakukan Tupasi (1985, dalam Suhandayani, 2007) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Dinkes RI, 2001, Suhandayani, 2007). Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat (Prabu, 2009).

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Diare

Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Diare

Diare merupakan defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja (Mansjoer, 2000). Pada bayi berumur kurang dari satu bulan, dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali sehari, sedangkan untuk bayi diatas satu bulan (balita), bila frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali (Siswono, 2001). Hingga saat ini penyakit diare pada balita di Indonesai merupakan masalah kesehatan yang perlu penanganan yang serius, karena bisa menyebabkan dehidrasi.

Penanganan diare yang tidak cepat dan tepat pada bayi dan balita, akan menimbulkan kematian yang disebabkan oleh karena kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997, angka kematian diare pada penduduku Indonesia setiap tahunnya terdapat 112.000 kematian pada semua golongan umur (54/100.000 penduduk) dan pada balita terjadi 55.000 kematian atau 2,5 per 1000 balita (Depkes RI, 2000, dalam Simatupang, 2004). Berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 2007, jumlah balita yang meninggal akibat diare sekitar 300.000 balita. Sedangkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, penyakit diare menempati posisi teratas (nomor satu terbanyak) sebagai penyebab kematian bayi (usia 29 hari – 11 bulan) dan balita (usia 12 – 59 bulan), sedangkan sebagai penyebab kematian kedua terbanyak pada bayi dan balita adalah penyakit pnemonia (Wijaya, 2010). Dan menurut laporan Antara (2010) bahwa 50.000 anak-anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia setiap tahun meninggal karena penyakit diare.

Menurut Mansjoer (2000), penyebab dari diare pada balita adalah oleh karena infeksi (virus, bakteri, parasit), malabsorpsi, makanan dan imunodefisiensi. Sedangkan menurut Simatupang (2004), beberapa penelitian menyebutkan hubungan pemberian air susu ibu dan makanan tambahan dengan kejadian diare, aspek lingkungan dengan kejadian diare. Sedangkan menurut Sutoto, 1992 (dalam Simatupang, 2004) menyebutkan bahwa interaksi gizi kurang merupakan lingkaran setan. Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan yang tepat dan cukup merupakan komponen utama pengelolahan klinis diare dan juga pengelolahan di rumah. Berat dan lamanya diare sangat dipengaruhi oleh status gizi penderita dan diare yang diderita oleh anak dengan status gizi kurang lebih berat dibandingkan dengan anak yang status gizinya baik karena anak dengan status gizi kurang keluaran cairan dan tinja lebih banyak sehingga anak akan menderita dehidrasi berat. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare, hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Didukung juga oleh pendapat yang didukung oleh Scrimsham, (1999, dalam Saiful, 2009) ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (penyebab diare) dengan status gizi terutama pada anak balita karena adanya tekanan interaksi yang sinergis. Mekanisme patologisnya dapat secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit, dan peningkatan kehilangan cairan/gizi akibat penyakit diare ysng terus menerus sehingga tubuh lemas. Begitu juga sebaliknya, ada hubungan antara status gizi dengan infeksi diare pada anak balita. -Apabila masukan makanan atau zat gizi kurang- akan terjadi penurunan metabolisme sehingga tubuh akan mudah terserang penyakit. Hal ini dapat terjadi pada anak balita yang menderita penyakit diare. Oleh sebab, itu masukan makanan atau zat gizi harus diperhatikan agar tidak terjadi penurunan metabolisme di dalam tubuh.

Konsumsi gizi yang baik dan cukup sangat diperlukan oleh seseorang, terutama pada anak balita karena seringkali tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak balita. Konsumsi gizi tersebut, tidak bisa dipenuhi karena faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal menyangkut keterbatasan ekonomi keluarga sehingga uang yang tersedia tidak cukup untuk membeli makanan, sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat didalam diri anak yang secara psikologis muncul sebagai problema makan pada anak balita atau juga bisa karena kekurangan gizi yang didapat dari sejak lahir oleh karena kekurangan gizi pada ibu saat ibu hamil. Oleh sebab itu, konsumsi gizi anak lebih diperhatikan karena akan menyebabkan status gizi kurang pada balita (Suhardjo, 2002, dalam Saiful, 2009). Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita karena berada dalam situasi rentan didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini antara lain kekurangan energi protein, gangguan kekurangan yodium, kekurangan vitamin A dan penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita terutama penyakit diare (Lisdiana, 1998, dalam Saiful, 2009).

Antara (2010). 50.000 Balita Meninggal Akibat Diare. Available (online) : http://www.antaranews.com/berita/1272376674/50000-balita-meninggal-akibat-diare


Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Santoso, S. dan Lies, A. (2004). 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka cipta.


Siswono, (2001). Diare pada Bayi Bisa Mengakibatkan Kematian. Available (online) : http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1000270917,37497,(17 Oktober 2010).

Simatupang, M.Y., (2004) Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kota Sibolga Tahun 2003. Available, (online) : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6764/1/05004291.pdf

Suhardjo, dkk (2003). Prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius IKAPI.


Wijaya, A.M., (2010). Penanganan Diare pada Bayi dan Anak Balita di Tingkat Rumah Tangga : http://www.infodokterku.com/index.php?option=com_content&view=article&id=81:penanganan-diare-anak-balita-di-tingkat-rumah-tangga&catid=25:penyakit-menular&Itemid=18