Jumat, 17 Desember 2010

Kegawatdaruratan Depresi

ASUHAN KEGAWATAN DARURATAN KLIEN DENGAN DEPRESI

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi/Pengertian

Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairaan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality) perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari, 2008).

Depresi adalah suatu gangguan alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik : rasa susah, murung, sedih, putus asa, dan tidak bahagia, serta komponen somatik : anoreksia, kostipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi menurun (Hidayat, dalam Yosep, 2009).

Depresi adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih dan berduka yang berlebihan dan berkepanjangan (Puwaningsih dan Karlina, 2009).

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) atau emosi yang disertai komponen psikologik dan komponen somatik, ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairaan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap utuh.

2. Epidemiologi/insiden kasus

Sebuah survey di Amerika Serikat dan Inggris, 20% populasi memiliki sejarah gangguan depresi dalam hidupnya. Kejadian pada wanita lebih sering dibanding pria (5:2). Bisa terjadi pada setiap umur, tetapi paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun. Ada kecenderungan hubungan famili dengan kejadian depresi, yaitu 8-18% klien depresi memiliki sedikitnya satu keluarga dekat (ayah, ibu, kakak atau adik) yang memiliki sejarah depresi (Zulliesikawati, 2009).

Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Hal ini amat penting karena orang dengan depresi produktivitasnya akan menurun dan ini amat buruk akibatnya bagi suatu masyarakat, bangsa dan negara yang sedang membangun. Depresi adalah penyebab utama tindakan bunuh diri, dan tindakan ini menduduki urutan ke-6 dari penyebab kematian utama di Amerika serikat (Yosep, 2009). Sedangkan Cass, H. (1998, dalam Hawari, 2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa 1 dari 5 orang, pernah mengalami depresi dalam kehidupannya. Selanjutnya ditemukan bahwa 5% - 15% dari klien-klien depresi melakukan bunuh diri setiap tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Kielholz dan Poldinger (1974) menunjukkan bahwa 10% dari klien yang berobat ke dokter adalah klien depresi dan separuhnya dengan depresi terselebung (masked depression) (Hawari, 2008). Organisasi Kesehatan seDunia (WHO, 1974) menyebutkan angka 17% klien-klien yang berobat ke dokter adalah klien dengan depresi, dan selanjutnya diperkirakan prevalensi depresi pada populasi masyarakat dunia adalah 3%. Sementara itu Sartorius (1974) memperkirakan 100 juta penduduk di dunia mengalami depresi. Angka-angka ini semakin bertambah untuk masa-masa mendatang yang disebabkan karena beberapa hal, antara lain : usia harapan hidup semakin bertambah, stresor psikososial semakin berat, berbagai penyakit kronik semakin bertambah dan kehidupan beragama semakin ditinggalkan (Hawari, 2008).

Katzenstein, L (1998, dalam Hawari, 2008) dalam survey yang dilakukan mendapatkan kenyataan bahwa lebih dari 70% klien depresi, tidak terdiagnosa oleh dokter. Sedangkan menurut Klikdokter (2009), gangguan depresi adalah gangguan dengan kemungkinan diderita seumur hidup adalah kira-kira 15%, kemungkinan tertinggi terdapat pada wanita yang mencapai 25%. Angka kejadian gangguan depresi berat juga lebih tinggi daripada biasanya pada klien perawatan primer yang mendekati 10% dan pada klien medis rawat inap adalah 15%.

Kasus depresi pada anak sebernarnya banyak, tetapi tidak terdiagnosis (underrecognised), karena tidak semua penderita mengeluh sedih. Insiden anak prapubertas diperkirakan 1,5-2,5% dan menjadi 4-5% pada masa remaja. Dalton dan Forman (dalam Rambe, 2001) melaporkan insiden gangguan depresi berat pada anak prapubertas 1,8%, remaja 3,5-5% dan anak perempuan lebih banyak pada laki-laki. Kashani et al (dalam Rambe, 2001) melaporkan 7% dari klien umum anak adalah penderita depresi. Lebih dari separoh klien psikiater anak dan remaja merupakan penderita depresi.

Depresi pada lanjut usia menurut penelitian, gejala utama depresi terjadi pada sekitar 10-15% dari populasi lansia yang berusia lebih dari 65 tahun. Untuk lansia yang tinggal di institusi, angkanya meningkat hingga 50-75% (Black, 1990, dalam Tamher dan Noorkasiani, 2009).

Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan di 11 kota oleh jaringan epidemiologi psikiatri Indonesia tahun 1995, yaitu 185 per 1.000 penduduk rumah tangga dewasa memperhatikan gejala gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu studi proporsi gangguan jiwa yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan di 16 Kota selama kurun waktu 1996-2000 menjumpai : gangguan disfungsi mental (kecemasan, depresi dan sebagainya) sebanyak 16,2%. Sedangkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 oleh Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan, Depkes menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada anggota rumah tangga dewasa (diatas 15 tahun) 140 per 1.000 penduduk. Pada anak dan remaja (5-15 tahun) 104 per 1.000 penduduk (Zulliesikawati, 2009)

3. Penyebab/faktor predisposisi

Menurut Videbeck (2008), penyebab (etiologi) depresi yang merupakan gangguan mood diyakini menggambarkan disfungsi sistem limbik, hipotalamus, dan ganglia basalis, yang membentuk kesatuan pada emosi manusia. Adapun beberapa teori yang mengungkapkan tentang depresi adalah teori biologi, teori psikodinamik, teori kognitif dan teori sosial atau lingkungan.

a. Teori biologi

Teori biologi terdiri dari teori genetik, teori neurokimia, pengaruh neuroendokrin, dan siklus biologi (Videbeck, 2008). Selengkapnya seperti pada uraia berikut :

1) Teori genetik

Penelitian genetik melibatkan transmisi depresi unipolar pada kerabat tingkat pertama, yang memiliki risiko dua kali lipat pada populasi umum. Kembar monozigot yang dibesarkan secara terpisah memiliki insiden komorbiditas 54% lebih besar dan kembar dizigot memiliki insiden 24% lebih besar. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor lingkungan tempat individu tersebut dibesarkan (Kelsoe, 2000, dalam Videnbeck, 2008).

2) Teori neurokimia

Neurokimia mempengaruhi fokus neurotransmiter (pembawa pesan kimiawi) pada serotonin dan norepinefrin sebagai dua amina biogenik utama yang terlibat dalam gangguan mood. Serotonin (5-HT) memiliki banyak peran dalam perilaku : mood, aktivitas, keangesifan dan iritabilitas, kognisi, nyeri, bioritme, dan proses neuroendokrin (yakni hormon pertumbuhan, kadar kortisol, dan kadar prolaktin abnormal pada keadaan depresi). Defisit serotonin, prekursornya triptofan, atau metabolit serotonin (5HIAA) yang ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinal terjadi pada individu yang depresi. Pemindai tomografi emisi positron memperlihatkan penurunan metabolisme pada korteks prefrontal, yang dapat meningkatkan depresi (Tecott, 2000, Videbeck, 2008).

3) Pengaruh neuroendokrin

Fluktuasi hormonal sedang diteliti dalam hubungnya dengan depresi. Gangguan mood dialami juga pada individu dengan gangguan endokrin, antara lain gangguan tiroid, adrenal, paratiroid, dan hipofisis (Videbeck, 2008).

4) Siklus biologi

Pola tahunan terlihat pada gangguan afektif musiman, suatu depresi yang terjadi ketika terdapat lebih sedikit sinar matahari dan berkurang ketika jumlah paparan matahari meningkat. Terapi cahaya terbukti berhasil dalam mengobati gangguan ini.

b. Teori psikodinamik

Freud (1917, dalam Videbeck, 2008) mengajukan hipotesis bahwa depresi bermula dari kemarahan yang tidak terkendali akibat pengabaian pada masa bayi karena ibu meninggal, terpisah secara emosional, atau kealpaan lainnya. Kehilangan objek yang dicintai ini menimbulkan rasa tidak aman, kehampaan, kesedihan, dan kemarahan. Kehilangan ini terjadi pada tahap oral perkembangan, ketika bayi yang penuh ketergantungan belum memiliki konsepsi tentang individuasi dari orang tua. Saat menjadi dewasa, individu yang berduka kembali ke tahap oral dan mengintroyeksikan kemarahan mereka tentang pengabaian atau konflik yang tidak selesai pada obyek yang hilang menjadi kemarahan terhadap diri mereka sendiri.

c. Teori kognitif

Teori Aaron Beck (dalam Videbeck, 2008) tentang penyebab depresi berkaitan dengan pikiran negatif komprehensif individu yang depresi. Mereka memandang diri sendiri, dunia, dan masa depan mereka dalam bentuk kegagalan yang menyimpang dengan cara berulang menginterprestasikan pengalaman sebagai hal yang sulit dan membebani serta menginterprestasi diri mereka sebagai orang yang tidak konsekuen dan tidak kompeten.

d. Teori sosial/lingkungan

Kehilangan hubungan atau peran hidup yang penting dapat menyebabkan depresi. Penganiayaan fisik atau seksual dapat menjadi suatu faktor dalam depresi. Isolasi sosial dan keuangan yang sangat terbatas dikaitkan dengan depresi yang dialami warga negara berusia lanjut (Boyd & Nihat, 1998, dalam Videbeck, 2008).

Menurut Hawari (2008), seorang yang sehat jiwanya bisa saja jatuh dalam depresi apabila yang bersangkutan tidak mampu manggulangi stressor psikososial yang dialaminya. Selain daripada itu ada juga orang yang lebih rentan (vulnerable) jatuh dalam keadaan depresi dibandingkan dengan orang lain. Orang yang rentan ini (berisiko tinggi) biasanya mempunyai corak kepribadian depresif, yang ciri-cirinya antara lain sebagai berikut :

a. Pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk merasa bahagia.

b. Pesimis menghadapi masa depan.

c. Memandang diri rendah.

d. Mudah merasa bersalah dan berdosa.

e. Mudah mengalah.

f. Enggan bicara.

g. Mudah merasa haru, sedih dan menanggis.

h. Gerakan lamban, lemah, lesu, kurang energik.

i. Sering mengeluh sakit ini dan itu (keluhan-keluhan psikosomatik).

j. Mudah tegang, agitatif, gelisah.

k. Serba cemas, khawatir, takut.

l. Mudah tersinggung.

m. Tidak ada kepercayaan diri.

n. Merasa tidak mampu, merasa tidak berguna.

o. Merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan ataupun studi.

p. Suka menarik diri, pemalu, dan pendiam.

q. Lebih suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul, pergaulan sosial amat terbatas.

r. Lebih suka menjaga jarak, menghindari keterlibatan dengan orang.

s. Suka mencela, mengkritik, kovensional.

t. Sulit mengambil keputusan.

u. Tidak agresif, sikap oposisinya dalam bentuk pasif-agresif.

v. Pengendalian diri terlampau kuat, menekan dorongan atau impuls diri.

w. Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.

x. Lebih senang berdamai untuk menghindari konflik ataupun konfrontasi.

Ciri-ciri kepribadian depresif tersebut di atas pada setiap diri seseorang tidak harus sama mencakup semua gejala-gejala secara keseluruhan. Seseorang baru dikatakan mengalami gangguan depresi manakala yang bersangkutan mengalami gangguan dibidang fisik (somatik) maupun psikis sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi dalam kehidupannya sehari-hari baik dirumah, sekolah/kampus, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosial (Hawari, 2008).

4. Proses terjadinya penyakit

Klien yang mengalami depresi biasanya diawali dari persepsinya yang negatif terhadap stressor. Klien menggangap masalah sebagai sesuatu yang seratus persen buruk. Tidak ada hikmah dan kebaikan di balik semua masalah yang diterimanya. Hampir semua masalah yang muncul di anggap negatif. Karena persepsi yang salah tersebut maka akan menuntun klien untuk berpikir dan bertindak salah. Pikiran yang selalu muncul adalah “saya sial, saya menderita, saya tidak mampu, tidak ada harapan lagi, semua buruk”, kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya support system yang adequate seperti keluarga, sahabat, ibu, tetangga, adanya tabungan, terutama keyakinannya pada maha kuasa. Munculnya fase akumulasi stressor dimana stressor yang lain turut memperburuk keadaan klien. Klien akan makin merasa tidak berdaya dan akhirnya ada niat untuk mencederai diri dan mengakhiri hidup. Hal ini menjadi pemicu munculnya harga diri rendah yang akan menjadi internal stressor (Yosep, 2009).

Rentang respon dari depresi (Purwaningsi dan Karlina, 2008) adalah sebagai berikut :

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Responsif

Reaksi kehilangan yang wajar

Supresi

Reaksi kehilangan yang memanjang

Mania/ depresi

Responsif adalah respons emosional individu yang terbuka dan sadar akan perasaannya. Pada rentang ini individu dapat berpartisipasi dengan dunia eksternal dan internal.

Reaksi kehilangan yang wajar merupakan posisi rentang yang normal dialami oleh individu yang mengalami kehilangan. Pada rentang ini individu menghadapi proses kehilangan, misalnya besedih, berfokus pada diri sendiri, berhenti melakukan kegiatan sehari-hari. Reaksi kehilangan tersebut tidak berlangsung lama.

Supresi merupakan tahap awal respons emosional yang maladaptif, individu menyangkal, menekan atau mengintemalisasi semua aspek perasaannya terhadap lingkungan.

Reaksi kehilangan yang memanjang merupakan proses penyangkalan yang menetap tetapi tidak terdapat reaksi emosional terhadap kehilangan. Ini terjadi pada awal proses berduka dan menjadi nyata pada proses berduka atau keduanya. Reakasi berduka ini dapat terjadi selama bertahun-tahun.

Mania atau depresi merupakan respons emosional yang berat dan dapat dikenal melalui intensitas dan pengaruhnya terhadap fisik individu dan fungsi sosial.

Adapun pohon masalah untuk klien depresi, adalah sebagai berikut :

Risiko Bunuh Diri (Akibat)

Gangguan Alam Perasaan : Depresi (Core Problem)

Koping Individu Tidak Efektif (Penyebab)


5. Klasifikasi

Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition) Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori, yaitu:

a. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder).

Didapatkan 5 atau lebih simptom depresi selama 2 minggu. Kriteria terebut adalah: suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh subjek ataupun observasi orang lain (pada anak-anak dan remaja perilaku yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya), kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari, berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau hipersomnia berkelanjuta, agitasi atau retadasi psikomotorik, letih atau kehilangan energi, perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif, kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun, pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali, distres dan hendaya yang signifikan secara klinis, tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.

b. Gangguan distimik (Dysthymic disorder) adalah suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti suatu episode depresi berat (dahulu disebut depresi neurosis). Kriteria DSM-IV untuk gangguan distimik: perasaan depresi selama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau 1 tahun pada anak-anak dan remaja); selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat keputusan, perasaan putus asa; selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala selama 2 bulan; tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak ditemukan; gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib kondisi obat atau medis; signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.

c. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic disorder).

Kriteria: kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah episode depresi berat atau lebih; kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode hipomania; tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran; gejala-gejala suasana perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum; distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.

Berdasarkan klasifikasi depresi menurut DSM IV, yang termasuk dalam katagori kegawatdaruratan depresi adalah gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder), oleh karena pada klasifikasi gangguan depresi berat terdapat kriteria dengan gejala klinis berupa pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali.

6. Gejala klinis

Adapun gejala klinis dari depresi (Klikdokter, 2009) adalah sebagai berikut :

a. Terdapat 5 (lima) atau lebih gejala yang ditemukan di bawah ini selama periode dua minggu yang sama dan mewakili perubahan dari fungsinya sebagai individu sebelumnya ( dari 5 gejala yang ada minimal ada salah satu gejala mood depresi atau hilangnya minat atau bahagia)

b. Mood depresi hampir sepanjang hari, setiap hari ( merasa atau tampak sedih atau kosong). Pada anak-anak atau remaja dapat bermanifestasi sebagai mood yang mudah tersinggung.

c. Hilangnya minat yang jelas pada semua aspek atau hampir semua aspek sepanjang hari hampir setiap hari.

d. Penurunan berat badan yang bermakna, tetapi individu yang bersangkutan tidak melakukan diet atau olahraga yang rutin.

e. Insomnia atau hipersomniat tiap harinya.

f. Agitasi atau redartasi psikomotor (aktivitas atau gerakan motorik).

g. Kelelahan atau hilangnya energi tiap hari.

h. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak tepat.

i. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memutuskan sesuatu.

j. Pikiran akan kematian yang berulang.

k. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

l. Gejala bukan efek psikologis langsung dari obat

m. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari dua bulan atau diikuti oleh gangguan lainnya.

Sedangkan menurut Hawari (2008), gejala klinis dari depresi adalah sebagai berikut :

a. Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak semangat, merasa tidak berdaya.

b. Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan.

c. Nafsu makan menurun.

d. Berat badan menurun.

e. Konsentrasi dan daya ingat menurun.

f. Gangguan tidur : insomnia (sukar/tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia (terlalu banyak tidur). Gangguan ini sering kali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan, misalnya mimpi orang yang telah meninggal.

g. Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tak berdaya).

h. Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas menurun, produktivitas juga menurun.

i. Gangguan seksual (libido menurun).

j. Pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri.

Berdasarkan gejala klinis menurut Klikdokter (2009) dan Hawari (2008), yang termasuk dalam gejala kedaruratan pada depresi adalah adanya pikiran akan kematian yang berulang, pikiran-pikiran kematian, dan bunuh diri.

7. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan depresi tidak seperti pada pemeriksaan fisik pada klien dengan masalah fisiknya. Pada klien dengan depresi lebih lebih ditekankan pada perilaku yang diperlihatkan oleh klien. Menurut Riyadi dan Purwanto (2009), pada klien depresi cukup banyak yang mengeluhkan depresinya, tetapi ada juga yang tidak mengeluh. Berikut perilaku yang berkaitan dengan depresi, yaitu :

a. Afektif

1) Sedih, cemas, apatis, murung.

2) Kebencian, kekesalan, marah.

3) Perasaan ditolak, perasaan bersalah.

4) Merasa tidak berdaya, putus asa.

5) Menarik diri dari hubungan interpersonal.

6) Merasa tidak berharga

b. Kognitif

1) Ambivalensi, bingung, ragu-ragu.

2) Tidak mampu konsentrasi.

3) Hilang perhatian dan motivasi

4) Menyalahkan diri.

5) Rasa tidak menentu.

6) Pesimis.

c. Fisik

1) Sakit perut, anoreksia, mual, muntah.

2) Gangguan pencernaan, konstipasi.

3) Lemah, lesu, nyeri kepala, pusing.

4) Insomnia atau hipersomnia.

5) Retardasi psikomotor.

6) Perubahan berat badan, gangguan selera makan.

7) Gangguan mestruasi, impotensi.

8) Libido terganggu.

d. Tingkah laku

1) Agresif, tidak toleran.

2) Gangguan tingkat aktivitas.

3) Kemunduran psikomotor.

4) Menarik diri, isolasi sosial

5) Iritable atau mudah tersinggung.

6) Berkesan menyedihkan.

7) Gangguan kebersihan.

8. Pemeriksaan diagnostik/penunjang

Diagnosis depresi tidak sejelas seperti pada penyakit lain. Tidak ada tes khusus yang dapat membantu menentukan bahwa seseorang individu menderita depresi, dan sangat sedikit yang dapat ditentukan penyebabnya. Faktor neuroendokrin dapat mempengaruhi kejadian depresi, sehingga dapat dilakukan deksametason supression test (DST) berupa sekresi berlebihan kortisol, kadar hormon pertumbuhan menurun jika disuntik insulin-induced hypoglicemia, kadar tiroksin total lebih rendah, peningkatan sekresi kortisol pada malam hari (Pediatrik-Undip, 2007).

9. Diagnosis/kriteria diagnosis

Adapun kriteria diagnosis untuk menentukan seseorang depresi (Pediatrik-Undip, 2007) adalah sebagai berikut :

a. Selama dua tahun terakhir (satu tahun untuk anak remaja) terganggu hampir seluruh waktunya oleh gejala khas sindroma depresi, tapi tidak termasuk klasifikasi depresi berat (psikosis/gangguan afektif berat).

b. Manifestasi gejala depresi dapat menetap atau muncul-hilang yang diselingi suasana alam perasaan normal untuk individu yang hanya berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu saja. Lama episode kambuh tidak lebih dari satu bulan.

c. Selama episode depresi terdapat gejala alam perasaan (mood) yang sedih, murung, merasa kehilangan semangat, merasa seperti jatuh dalam kesedihan, merasa amat rendah diri. Hilangnya minat dan rasa senang & gembira secara nyata dalam semua kegiatan hidupnya, dan yang biasanya dengan dilakukan dengan gembira mengisi waktu senggangnya.

d. Selama periode depresif terdapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) gejala dari 13 gejala berikut:

1) Insomnia / tidak bisa tidur atau bahkan hypersomnia / tidur berlebihan

2) Perasaan letih lesu atau mengeluhkan rasa gangguan dan nyeri fisik secara menahun dan beraneka ragam

3) Perasaan kurang/tidak mampu melakukan kegiatan apa saja, merasa rendah diri, mencela diri sendiri

4) Aktivitas dan produktivitas menurun ditempat bekerja, disekolah, dirumah

5) Konsentrasi pemikiran menurun, daya simpan memori merosot, perhatian tidak tajam, kemampuan berpikir jernih lenyap

6) Menarik diri dari pergaulan sosial kemasyarakatan

7) Hilang minat dan kemampuan memanfaatkan waktu senggang untuk menikmati hal-hal yang biasanya disenanginya

8) Irritabilitas / mudah meledak rasa marah yang berlebihan dengan faktor pencetus yang kecil saja, yang biasanya dilampiaskan kepada orang tua atau pengasuh (kasus anak), /orang terdekat disekitarnya

9) Tidak mampu menghayati pujian, penghargaan dengan perasaan senang yang sewajarnya

10) Merosot dorongan berbicara, membicarakan masalah dirinya atau masalah lain, merasa diri lamban atau malah disertai rasa kegelisahan

11) Sikap jiwa pesimis terhadap masa depannya, menyesali berulang ulang peristiwa/kegiatan masa lampau yang telah dikerjakannya, merasa kasihan berlebihan terhadap diri sendiri atau orang lain

12) Mudah sekali menangis, air mata berlinang ketika sedang membicarakan sesuatu hal/kejadian/kegiatan/pengalaman-nya dimasa lampau

13) Pikiran berulang tentang kematian dirinya dengan segala akibat terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau muncul gagasan bunuh diri (suicide) dengan alasan dirinya hanya menjadi beban orang lain, atau bahkan muncul ide membunuh keluarga dekatnya sebelum bunuh diri sendiri dengan alasan agar keluarga dekat itu tidak mengalami kesulitan hidup kelak jika dirinya sudah tak ada lagi (homicide).

e. Tidak terdapat ciri psikotik seperti waham, hallusinasi, inkoherensi, atau assosiasi longgar

f. Jika gangguan itu bertumpang tindih dengan gangguan mental sudah ada sebelumnya seperti gangguan Obsesif Kompulsif (Obsessif Compulsif Disorder/OCD) atau ketergantungan Alkohol, manifestasi gejala depresi itu dapat dibedakan dengan jelas dari gambaran afek / alam perasaan sebelumnya, berdasar pada intensitas manifestasi depresi dan pengaruhnya pada kemampuan menjalankan fungsi sehari-hari.

10. Theraphy/tindakan penanganan

Pengobatan klien dengan depresi harus tepat pada sasarannya, yakni keamanan dari klien harus terjamin, pemeriksaan diagnostik yang lengkap harus dilakukan, yang ketiga adalah rencana pengobatan harus secara menyeluruh, bukan hanya mengatasi gejala tetapi juga mengatasi penyebab dari depresi itu sendiri (Klikdokter, 2009).

Keputusan pertama yang harus dilakukan adalah, apakah klien harus dirawat di rumah sakit atau dirawat jalan. Indikasi jelas untuk perawatan rumah sakit adalah keperluan diagnostik, adanya resiko bunuh diri atau menyakiti orang lain dan penurunan kemampuan klien untuk bertahan hidup, seperti makan, mandi, atau mendapatkan tempat berlindung.

Sebagian besar menyatakan kombinasi dari psikoterapi dan psikofarmaka adalah yang paling efektif untuk gangguan depresi. Beberapa psikoterapi jangka pendek yang dapat diterapkan adalah terapi Kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku. Dan dari segi obat-obatan dapat digunakan antidepressant yang telah terbukti efektif, penggunaan Fluoxetin, paroxetin dan sertaline harus digunakan dalam pengawasan minimal 2 – 6 minggu (Klikdokter, 2009).

Sedangkan menurut Hawari (2008), manajemen atau penatalaksanaan depresi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu yang mencakup fisik (somatik), psikologik/psikiatrik, psikososial dan psikoreligius.

a. Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka adalah pengobatan dengan memakai obat-obatan (farmaka) yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak (limbic system). Cara kerja psikofarmaka ini adalah dengan jalan memutuskan jaringan atau sirkuit psiko-neuro-imunologi, sehingga stresor psikososial yang dialami oleh seseorang tidak lagi mempengaruhi fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan organ-organ tubuh lainnya (Hawari, 2008). Ada tiga kategori utama antidepresan, yaitu antidepresan trisiklik (ATS), inhibitor monoamin aksidase (MAOI), dan inhibitor reupatake serotonin selektif (SSRI) dan beberapa antidepresan atipikal (Videbeck, 2008).

b. Terapi somatik

Untuk menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik), diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

c. Psikoterapi

Pada klien depresi, selain diberikan terapi psikofarmaka (anti depresi) dan terapi somatik, juga diberikan terapi kejiwaan (psikologik) yang dinamakan psikoterapi. Adapun macam-macam psikoterapi antara lain : psikoterapi suportif, psikoterapi re-edukatif, psikoterapi re-konstruktif, psikoterapi kognitif, psikoterapi psiko-dinamik, psikoterapi perilaku dan psikoterapi keluarga.

d. Terapi psikoreligius

Lindenthal (1970) dan Star (1971) (dalam Hawari, 2008), melakukan studi epidemiologik yang hasilnya menunjukkan bahwa penduduk yang religius resiko untuk mengalami stres jauh lebih kecil daripada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana diketahui salah satu akibat stres adalah seseorang dapat jatuh dalam keadaan depresi dan seringkali melakukan tindakan bunuh diri.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Primer survey

1) Mengkaji gagasan bunuh diri.

Banyak klien dengan gangguan mood, karena putus asa dan tidak berdaya, memiliki fantasi bunuh diri. Untuk semua individu yang depresi, penting untuk mengkaji adanya gagasan bunuh diri atau upaya bunuh diri. Isyarat bunuh diri dapat terbuka atau tertutup.

Isyarat terbuka : bunuh diri merupakan pernyataan yang jelas dan langsung seperti, “saya ingin bunuh diri” atau “Saya akan memukul kepala saya malam ini”. Individu lain mengalami lebih banyak kesulitan untuk membuat pernyataan langsung tersbut dan mungkin mencoba memperingatkan orang lain atau meminta bantuan dengan menggunakan perilaku atau pesan tidak langsung.

Isyarat tertutup adalah pesan yang lebih samar-samar tentang bunuh diri yang perlu diinterprestasikan. Beberapa individu yang memutuskan untuk bunuh diri bahkan dapat terlihat gembira dan memiliki tujuan karena mereka mengakhiri perasaan-perasaan di dalam dirinya yang saling bertentangan dan pada akhirnya membuat suatu keputusan (Videbeck, 2008).

2) Mood dan afek.

Klien yang depresi mungkin menggambarkan diri mereka sebagai orang yang putus asa, tidak berdaya, lemah, atau cemas. Mereka mudah prustasi, marah terhadap orang lain. Individu lain yang depresi mengalami agitasi, mudah tersinggung, marah-marah, mudah kesal, dan mudah mengamuk. Individu yang depresi dan agitasi dikatakan mengalami agitasi psikomotor (gerakan tubuh dan pikiran meningkat), misalnya berjalan mondar-mandir, berpikir dengan cepat, dan suka berdebat.

Individu yang depresi menjadi asosial, menarik diri dari interaksi sosial, keluarga dan teman, serta hobi. Mereka menjadi anhedonia atau anhedonistik, kehilangan rasa senang dan aktivitas yang menyenangkan sebelumnya. Biasanya mereka duduk menyendiri, dengan menantap nanar atau melamun. Ketika ditanya, mereka berintraksi minimal dengan mengucapkan beberapa kata atau gestur. Mereka merasa terganggu oleh suara berisik dan orang-orang yang mungkin memberi tuntutan sehingga mereka menarik diri dari stimulasi interasi dengan orang lain (Videbeck, 2008).

3) Penampilan umum dan perilaku motorik

Banyak individu yang depresi terlihat sedih, kadang-kadang mereka hanya terlihat tidak sehat. Mereka mengalami disforia, memiliki perasaan tidak enak, dan mudah menangis, atau mereka mungkin menyangkal perasaan mereka sendiri. Individu depresi dan sedih mengalami retardasi psikomotor (gerakan tubuh lambat, proses kognitif lambat, dan interaksi verbal lambat). Mereka mengalami kesulitan mengaitkan pikiran-pikiran mereka, memerlukan lebih banyak waktu untuk berpikir, dan sering kali menyerah dalam frsutasi sebelum mampu menyelesaikan suatu pikiran atau tugas.

b. Secondary survey

1) Riwayat

Data pengkajian dapat dikumpulkan dari klien dan keluarga atau orang terdekat, catatan informasi sebelumnya, dan orang lain yang terlibat dalam memberikan dukungan atau perawatan klien. Untuk klien yang mengalami retardasi psikomotor, pengkajian perlu dilakukan dalam beberapa sesi karena klien mengalami kesulitan dalam merangkai kata-kata untuk membuat sebuah kalimat dan memerlukan lebih banyak waktu untuk menyusun dan memverbalisasi suatu respons. Individu yang mengalami retardasi psikomotor menggunakan repons satu kata terhadap pertanyaan “ya” atau “tidak” tanpa mengembangkan respons tersebut. Penggunaan pertanyaan terbuka memerlukan waktu lebih lama, tetapi menghasilkan data pengkajian yang lebih spesifik (Videbeck, 2008).

2) Sensori dan proses intelektual

Konsentrasi dan pembuatan keputusan sangat menurun sehingga banyak individu yang depresi mengalami kesulitan untuk melanjutkan sekolah atau kerja. Pada depresi yang berat, klien mungkin tidak mampu turun dari tempat tidur atau membuat keputusan tentang apa yang ingin mereka makan (Videbeck, 2008).

3) Penilaian dan daya tilik

Keletihan dan kelelahan (anergia) merupakan gejala yang umum. Individu yang depresi merasa terbebani ketika mencoba menyelesaikan bahkan aktivitas yang biasa dilakukan. Mereka harus melakukan usaha yang besar untuk menyelesaikan bahkan tugas paling sederhana, dan mereka memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas (Videbeck, 2008).

4) Konsep diri

Kesadaran terhadap harga diri sangat berkurang, klien sering menggunakan frasa seperti “tidak berguna” atau “sama sekali tidak berharga” untuk menggambarkan diri mereka. Mereka merasa salah karena tidak mampu menjalankan fungsi mereka dan sering menghubungkan peristiwa dengan diri mereka atau memikul tanggung jawab untuk insiden yang tidak dapat mereka kendalikan.

5) Peran dan hubungan

Individu yang depresi menjadi asosial dan tidak senang dengan orang lain atau aktivitas yang menyenangkan sebelumnya. Mereka kehilangan ketertarikan dalam seks dan fungsi mereka dalam bekerja menurun.

6) Pertimbangan fisiolosis dan perawatan diri

Perubahan tidur adalah gejala umum lain pada depresi. Individu biasanya mengeluh insomnia pertengahan (terjaga pada malam hari dan mengalami kesulitan untuk kembali tidur). Beberapa individu mengalami insomnia awal (kesulitan untuk tidur), individu lain bangun terlalu dini (insomnia terminal). Beberapa individu yang depresi tidur terlalu banyak (hipersomnia) (DSM-IV-TR, 2000, dalam Videbeck, 2008).

7) Penilaian skala depresi

Beberapa skala penilaian untuk depresi dilengkapi oleh klien, skala lain dilakukan oleh profesional kesehatan jiwa. Instrumen pengkajian ini, bersama evaluasi terhadap perilaku klien, proses pikir, riwayat, riwayat keluarga, dan faktor situasional, membantu menciptakan suatu gambaran diagnostik. Skala penilaian diri terhadap gejala depresif meliputi Zung Self-Rating Depression Scale, Beck Depression Inventory, dan PRIME-MD (Pfizer). Skala penilaian ini digunakan untuk temuan kasus dalam masyarakat umum, tetapi bukan merupakan instrumen diagnostik yang dianjurkan (Boyd & Nihart, 1998, dalam Videbeck, 2008).

Hamilton Rating Scale for Depression (1960) merupakan skala depresi yang dinilai oleh klinisi dan digunakan seperti wawancara klinis. Klinisi menilai rentang perilaku klien, seperti mood yang terdepresi, rasa bersalah, bunuh diri dan insomnia. Ada juga bagian untuk menilai variasi diurnal, depersobalisasi (perasaan tidak nyata tentang diri sendiri), gejala paranoid dan obsesi (Videbeck, 2008).

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

Berdasarkan hasil pengkajian, khususnya pada pengkajian primer survey, maka diagnosa kegawatdaruratan untuk klien dengan depresi adalah risiko bunuh diri.

3. Rencana tindakan

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), intervensi keperawatan gawat darurat untuk klien depresi dengan risiko bunuh diri adalah sebagai berikut:

a. Bina hubungan saling percaya.

b. Berikan antidepresan dan agens antiansietas sesuai resep.

c. Dengarkan klien dengan tenang, perilaku yang tidak terburu-buru.

1) Klien dapat keuntungan dengan mengekspresikan perasaannya.

2) Berikan klien kesempatan untuk bercerita tentang masalah pribadi.

3) Antisipasi bahwa klien mungkin bunuh diri.

4) Usahakan untuk menemukan jika klien punya pikiran tentang usaha bunuh diri.

5) Temukan jika terdapat penyakit, dirasakan atau nyata.

6) Catat kondisi klien depresi yang ingin sendiri, karena bunuh diri biasanya dilakukan pada saat sendiri.

d. Tekankan pada klien bahwa depresi dapat ditangani.

e. Libatkan support system dalam keluarga klien dalam mencari alternative pemecahan masalah klien.

Rencana keperawatan untuk diagnosa keperawatan risiko bunuh diri secara lengkap terlampir.

4. Evaluasi

Adapun hasil yang diharapkan dari tindakan keperawatan pada klien dengan risiko bunuh diri dengan depresi adalah klien akan menghilangkan gagasan dan/atau rencana bunuh diri.

DAFTAR PUSTAKA

Hawari, D., 2008. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Klikdokter, 2009. Depresi. (online), available : http://www.klikdokter.com/

Pediatrik-Undip, 2007. Depresi Pada Remaja. (online), available : www.pediatrics-undip.com/journal/depresi%20remaja.doc

Purwaningsi, W. Dan Karlina, I., 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa : Dilengkapi Terapi Modalitas dan Standard Operating Procedure (SOP). Yogyakarta : Nuha Medika Press.

Rambe, A.M., 2001. Depresi Pada Anak. (online), Available : http://www.tempi.co.id/medika/arsip/042001/pus-3.htm

Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Smeltzer, C.S. dan Bare,G.B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah ; Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol 3. Jakarta : EGC.

Tamher, S. Dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Videbeck, S. L., 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Yosep, I., 2009. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Bandung : PT Refika Aditama.

Zulliesikawati, 2009. Depresi. (online), available : http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/depression.pdf