Senin, 21 Maret 2011

ELEKTRO CONVULSIF THERAPIE (ECT)

ELEKTRO CONVULSIF THERAPIE (ECT)

1. Pengertian

ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall.

2. Indikasi

Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid, dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12x terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu 10-20x terapi secara rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.

3. Kontraindikasi

ECT merupakan prosedur yang hanya digunakan pada keadaan yang direkomendasikan. Sedangkan kontraindikasi dan komplikasi dari tindakan ECT, adalah sebagai berikut:

a. Kontraindikasi

1) Peningkatan tekanan intra kranial (karena tumor otak, infeksi SSP).

2) Keguguran pada kehamilan, gangguan sistem muskuloskeletal (osteoartritis berat, osteoporosis, fraktur karena kejang grandmal).

3) Gangguan kardiovaskuler: infark miokardium, angina, hipertensi, aritmia dan aneurisma.

4) Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial.

5) Keadaan lemah.

b. Komplikasi

1) Luksasio dan dislokasi sendi

2) Fraktur vetebra

3) Robekan otot rahang

4) Apnoe

5) Sakit kepala, mual dan nyeri otot

6) Amnesia

7) Bingung, agresif, distruktif

8) Demensia

4. Peran Perawat

Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.

5. Persiapan Alat

Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:

a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)

b. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain

c. Kain kasa

d. Cairan Nacl secukupnya

e. Spuit disposibel

f. Obat SA injeksi 1 ampul

g. Tensimeter

h. Stetoskop

i. Slim suiger

j. Set konvulsator

6. Persiapan klien

a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan.

b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT

c. Siapkan surat persetujuan

d. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT

e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai klien

f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi

g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT

h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.

i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal.

7. Pelaksanaan.

a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.

b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk menghasilkan koma ringan.

c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang umum.

d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode menempel.

e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira Nacl.

f. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit

g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi kain

h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang

i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas

j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan kuat).

k. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma

l. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger

m. Kepala dimiringkan

n. Observasi sampai klien sadar

o. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

8. Setelah ECT

a. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil

b. Jaga keamanan

c. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

Jumat, 11 Maret 2011

Seklusi Klien Gangguan Jiwa

Seklusi

1. Pengertian

Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus. Klien tidak dapat meninggalkan ruangan tersebut secara bebas. Bentuk seklusi berupa pengurungan diruangan tidak terkunci sampai pengurungan dalam ruangan terkunci dengan kasur tanpa seprei, tergnatung dari tingkat kegawatan klien.


2. Indikasi

Indikasi seklusi yaitu klien dengan perilaku kekerasan yang mebahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.


3. Kontraindikasi

Kontraindikasi dari terapi ini adalah:

a. Risiko bunuh diri.

b. Klien dengan gangguan sosial

c. Kebutuhan untuk observasi masalah medis.

d. Hukuman

Restrain Klien Gangguan Jiwa

RESTRAIN

1. Pengertian

Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien.

Alat tersebut meliputi penggunaan manset untuk pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus dilakukan pada kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir jika perilaku klien sudah tidak dapat diatasi atau dikontrol dengan strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan.

2. Indikasi

Adapun dari indikasi tindakan restrain adalah sebagai berikut:

a. Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungannya.

b. Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.

c. Klien yang mengalami gangguan kesadaran.

d. Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan pengendalian diri.

e. Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan klien untuk istirahat, makan dan minum.

3. Prinsip Tindakan

Prinsip dari tindakan restrain ini adalah melindungi klien dari cedera fisik dan memberikan lingkungan yang nyaman. Restrain dapat menyebabkan klien merasa tidak dihargai hak asasinya sebagai manusia, untuk mencegah perasaan tersebut perawat harus mengidentifikasi faktor pencetus pakah sesuai dengan indikasi terapi, dan terapi ini hanya untuk intervensi yang paling akhir apabila intervensi yang lain gagal mengatasi perilaku agitasi klien. Kemungkinan mencederai klien dalam proses restrain sangat besar, sehingga perlu disiapkan jumlah tenaga perawat yang cukup dan harus terlatih untuk mengendalikan perilaku klien. Perlu juga dibuat perencanaan pendekatan dengan klien, penggunaan restrain yang aman dan lingkungan restrain harus bebas dari benda-benda berbahaya.

Referensi:

Riyadi, S dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.

Senin, 07 Maret 2011

Respon Fisiologis Dan Psikologis Terhadap Kecemasan

RESPON FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KECEMASAN

Respon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri. Serabut saraf simpatis “ mengaktifkan” tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Kelenjar adrenal melepas adrenalin (epinefrin), yang menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, medilatasi pupil, dan meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil membuat konstriksi pembuluh darah perifer dan memirau darah dari sistem gastrointestinal dan reproduksi serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna menyokong jantung, otot, dan sistem saraf pusat. Ketika bahaya telah berakhir, serabut saraf parasimpatis membalik proses ini dan mengembalikan tubuh ke kondisi normal sampai tanda ancaman berikutnya mengaktifkan kembali respons simpatis (Videbeck, 2008).

Ansietas menyebabkan respons kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang tidak nyaman, misalnya kesulitan berpikir logis, peningkatan aktivitas motorik, agitasi, dan peningkatan tanda-tanda vital. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman, individu mencoba mengurangi tingkat ketidaknyaman tersebut dengan melakukan perilaku adaptif yang baru atau mekanisme pertahanan. Perilaku adaptif dapat menjadi hal yang positif dan membantu individu beradaptasi dan belajar, misalnya : menggunakan teknik imajinasi untuk memfokuskan kembali perhatian pada pemandangan yang indah, relaksasi tubuh secara berurutan dari kepala sampai jari kaki, dan pernafasan yang lambat dan teratur untuk mengurangi ketegangan otot dan tanda-tanda vital. Respons negatif terhadap ansietas dapat menimbulkan perilaku maladaptif, seperti sakit kepala akibat ketegangan, sindrom nyeri, dan respons terkait stress yang menimbulkan efisiensi imun (Videbeck, 2008).

Ansietas dapat disampaikan dari satu individu kepada individu lain melalui kata-kata, misalnya mendengar seorang berteriak “kebakaran” di ruang yang penuh sesak atau mendengar suara bergetar dari ibu yang tidak dapat menemukan anaknya di mal yang padat. Ansietas dapat disampaikan secara nonverbal melalui empati, suatu kesadaran menepatkan diri pada posisi orang lain untuk beberapa waktu (Sullivan, dalam Videbeck, 2008).

Ketika individu menjadi cemas, mereka menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengurangi rasa cemas. Mekanisme pertahanan merupakan distorsi kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan rasa kendali terhadap situasi yang menimbulkan stress. Proses ini mencakup muslihat diri, kesadaran yang terbatas terhadap situasi, atau komitmen emosional yang kurang. Kebanyakan mekanisme pertahanan timbul dari alam bawah sadar sehingga individu tidak sadar menggunakannya. Ketika pasien tidak dapat menjelaskan kecelakaan yang baru saja dialaminya, pikirannya sedang menggunakan mekanisme represi (melupakan peristiwa yang menakutkan secara tidak sadar).

Beberapa individu menggunakan mekanisme pertahanan secara berlebihan dan hal ini menghentikan mereka mempelajari berbagai metode yang tepat untuk mengatasi situasi yang menimbulkan ansietas. Ketergantungan pada satu atau dua mekanisme pertahanan juga dapat menghambat pertumbuhan emosional, menyebabkan buruknya keterampilan menyelesaikan masalah, dan menimbulkan kesulitan menjalin hubungan.

TINGKAT KECEMASAN

Ada empat tingkat kecemasan (Peplau, dalam Videbeck, 2008), yaitu kecemasan ringan, sedang, berat dan panik. Pada masing-masing tahap, individu memperlihatkan perubahan perilaku, kemampuan kognitif, dan respons emosional ketika berupaya menghadapi kecemasan.

KECEMASAN RINGAN :

Respons fisik : ketegangan otot ringan, sadar akan lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, penuh perhatian dan rajin.

Respons kognitif : lapang emosional luas, terlihat tenang dan percaya diri, perasaan gagal sedikit, waspada dan memerhatikan banyak hal, mempertimbangkan informasi, tingkat pembelajaran optimal.

Respons emosional : perilaku otomatis, sedikit tidak sadar, ativitas menyendiri, terstimulasi dan tenang.

KECEMASAN SEDANG :

Respons fisik : ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering mondar-mandir, memukul tangan, suara berubah : bergetar, nada suara tinggi, kewaspadaan dan ketegangan meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung.

Respons kognitif : lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara selektif, focus terhadap stimulus meningkat, rentang perhatian menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi dengan memfokuskan.

Respons emosional : tidak nyaman, mudah tersinggung, kepercayaan diri goyah, tidak sabar dan gembira.

Pada kecemasan ringan dan sedang, individu dapat memproses informasi, belajar, dan menyelesaikan masalah. Pada kenyataannya, tingkat kecemasan memotivasi pembelajaran dan perubahan perilaku. Keterampilan kognitif mendominasi.

KECEMASAN BERAT :

Respons fisik : ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak mata buruk, pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat, nada suara tinggi, tindakan tanpa tujuan dan serampangan, rahang menegang, menggertakkan gigi, kebutuhan ruang gerak meningkat, mondar-mandir, berteriak, meremas tangan dan gemetar.

Respons kognitif : lapang persepsi terbatas, proses berpikir terpecah-pecah, sulit berpikir, penyelesaian masalah buruk, tidak mampu mempertimbangan informasi, hanya memerhatikan ancaman, preokupasi dengan pikiran sendiri, dan egosentris.

Respons emosional : sangat cemas, agitasi, takut, bingung, merasa tidak adekuat, menarik diri, penyangkalan dan ingin bebas.

PANIK :

Respons fisik : flight, fight, atau freeze, ketegangan otot sangat berat, agitasi motorik kasar, pupil dilatasi, tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun, tidak dapat tidur, hormone stress dan neurotransmitter berkurang, wajah menyeringai, mulut ternganga.

Respons kognitif : persepsi sangat sempit, pikiran tidak logis, terganggu, kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah, focus pada pikiran sendiri, tidak rasional, sulit memahami stimulus eksternal, halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi.

Respons emosional : merasa terbebani, merasa tidak mampu, tidak berdaya, lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah, sangat takut, mengharapkan hasil yang buruk, kangen, takut dan lelah.

Ketika individu mengalami kecemasan berat dan panik, keterampilan bertahaan yang lebih sederhana mengambil alih, respons defensif terjadi, dan keterampilan kognitif menurun signifikan. Individu yang mengalami kecemasan berat sulit berpikir dan melakukan pertimbangan, otot-ototnya menjadi tegang, tanda-tanda vital meningkat, dan mondar-mandir, memperlihatkan kegelisahan, iritabilitas, dan kemarahan, atau menggunakan cara psikomotor-emosional yang sama lainnya untuk melepas ketegangan. Dalam keadaan panic, alam psikomotor-emosional individu tersebut mendominasi, disertai respons fight, flight, atau freeze. Lonjakan adrenalin menyebabkan tanda-tanda vital sangat meningkat, pupil membesar untuk memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk, dan satu-satunya proses kognitif berfokus pada pertahanan individu tersebut.

Referensi :

Videbeck, 2008_Buku Ajar Keperawatan Jiwa.