Kamis, 17 Mei 2012

ABSTRAK



Pengaruh Orientasi Ruangan Terhadap Perilaku Adaptif Pada Pasien Usia Sekolah Studi ini Dilakukan di BLU RSUD Sanjiwani Gianyar
Tahun 2011


            Hospitalisasi merupakan masa karena suatu alasan terencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai dipulangkan kembali ke rumah. Pada usia sekolah, sumber stress saat hospitalisasi antara lain akibat perpisahan, kehilangan kontrol, cedera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasive. Orientasi ruangan merupakan hal yang sangat penting yang harus dilaksanakan oleh perawat kepada pasien dan pendamping untuk menghindari sesuatu yang mencemaskan dan menakutkan bagi pasien tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh orientasi ruangan terhadap perilaku adaptif pada pasien usia sekolah. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimental desain, dengan metode static group comparison. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan perilaku adaptif pasien usia sekolah yang tidak dilakukan orientasi ruangan sebanyak 12 orang (80%) dengan perilaku maladaptif. Perilaku adaptif pasien usia sekolah yang dilakukan orientasi ruangan didapatkan sebanyak 14 orang (93,33%) dengan perilaku adaptif. Didapatkan kesimpulan bahwa ada pengaruh orientasi ruangan terhadap perilaku adaptif pada pasien usia sekolah (p=0,000).

Kata kunci: Usia sekolah,orientasi ruangan, perilaku adaptif.

Perilaku Maladaptif Pada Anak Hospitalisasi


Salah satu bentuk kecemasan anak usia sekolah akibat hospitalisasi adalah perpisahan dengan orang tua dan teman sebaya. Hal-hal yang menunjukkan kecemasan akibat perpisahan, serta rasa takut lainnya yaitu dengan anak merasa kesepian, bosan, isolasi, menarik diri, depresi, marah, frustasi dan bermusuhan. Sedangkan mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu regresi mengacu pada kecenderungan untuk kembali pada tahap perilaku yang lebih dini dan lebih primitif (Wong, 2003).
 Anak usia sekolah  mengalami stress selama hospitalisasi akan menunjukkan ciri-ciri yang maladaptif yaitu  anak menjadi tidak kooperatif, tidur tidak nyenyak, tidak mau makan serta mungkin ditunjukkan dengan reaksi regresi yang diekspresikan secara verbal maupun non verbal (Wong, 2003).
Biasanya anak juga menanggapi perawatan dirumah sakit dengan reaksi misalnya menjerit-jerit, mengompol atau perilaku lain yang lebih pantas untuk tahap usia yang lebih awal. Namun bentuk perilaku ini menunjukkan bukannya kerewelan yang harus ditangani dengan tegas tetapi kecemasan yang membutuhkan kesabaran dan pengertian (Mc Gie, 2003).
Sedangkan menurut  Adriansyah (2010), ada enam hal yang terjadi pada anak yang dihospitalisasi, antara lain :
1) Perubahan konsep diri.
            Perubahan konsep diri terjadi akibat penyakit yang diderita atau tindakan seperti pembedahan, pengaruh citra tubuh dapat menyebabkan perubahan peran, ideal diri, harga diri, dan identitasnya.
2) Regresi.
            Klien mengalami kemunduran ke tingkat sebelumnya atau lebih rendah dalam fungsi fisik, mental, perilaku, dan intelektual.
3) Dependensi.
            Klien merasa tidak berdaya dan tergantung pada orang lain.
4) Depersonalisasi.
            Peran sakit yang dialami klien dapat menyebabkan perubahan kepribadian, tidak realistis, tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, perubahan identitas, dan sulit bekerjasama.
5) Takut dan Ansietas.
            Perasaan takut dan ansietas timbul karena persepsi yang salah terhadap penyakitnya.

6)  Kehilangan dan Perpisahan
Kehilangan dan perpisahan selama klien dirawat muncul karena lingkungan yang asing dan jauh dari susana kekeluargaan, kehilangan kebebasan, berpisah dengan pasangan, dan terasing dari orang yang dicintai.
            Sedangkan menurut menurut Whenny (2010), respon pasien pada usia sekolah yang dapat muncul, antara lain : rasa takut, ansietas, paham alasan dipisahkan tetapi masih butuh keberadaan orang tua, lebih peduli terhadap rutinitas sekolah dan teman teman, tidak berdaya, marah dan frustasi, peduli terhadap perpisahan dengan guru dan teman sekolah, cemas terhadap kehilangan, PR (pekerjaan rumah), sekolah, dan perubahan dalam kelompok. Tetapi pada pasien usia sekolah kadang kala juga muncul respon  berusaha mandiri, mencoba berani selama prosedur, serta peduli terhadap cara mengekspresikan perasaan dan malu terhadap perilaku yang berlebihan.

Pengaruh Orientasi Ruangan Terhadap Perilaku Adaptif Pada Anak Usia Sekolah Yang Rawat Inap


Hospitalisasi merupakan masa karena suatu alasan terencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai dipulangkan kembali ke rumah (Lukimon, 2010). Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada semua tingkat usia. Kecemasan dan stress akibat hospitalisasi ini menimbulkan perasaan tidak nyaman sehingga dibutuhkan proses penyesuaian diri untuk meminimalkan kecemasan dan stress supaya tidak berkembang menjadi krisis (Nursalam, 2008).
Kecemasan dan stress yang dialami anak dipengaruhi oleh beberapa faktor  antara lain faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan (Nursalam, 2008). Reaksi kecemasan ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, support system yang tersedia dan mekanisme koping seorang anak (Yusuf, 2011).
Pada usia sekolah, sumber stress saat hospitalisasi antara lain akibat perpisahan, kehilangan kontrol, cedera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasif. Respon perilaku pada anak usia sekolah adalah regresi, ketergantungan, perasaan takut, cemas, rasa bersalah serta respon fisiologis (Wong, 2003).
Perawat sangat berperan untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi. Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh perhatian akan mempercepat proses penyembuhan (Nursalam, 2005). Pemberian intervensi keperawatan ditujukan pada penanganan masalah fisik, psikologis, sosial dan ketergantungan (spiritual). Masalah psikis yang penting pada pasien anak yang dirawat dirumah sakit yaitu rasa cemas dan takut terhadap lingkungan baru. Untuk itu perlu memberitahu kepada anak mengenai rumah sakit dengan cara orientasi ruangan dan peraturan rumah sakit. Orientasi ini meliputi pengenalan dengan ruangan, alat-alat, peraturan-peraturan, petugas, dan perawat yang ada, guna mencegah stress hospitalisasi (Nursalam, 2008).
Orientasi merupakan pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan (Depdiknas, 2001). Orientasi ruangan merupakan hal yang penting yang harus dilaksanakan oleh perawat kepada pasien dan pendamping untuk menghindari sesuatu yang mencemaskan dan menakutkan bagi pasien tersebut. Mengorientasikan pasien dan pendamping tentang rumah sakit, fasilitas, dan peraturan yang berlaku (Nursalam, 2008). Informasi tentang rumah sakit dibutuhkan pasien dan pendamping untuk dapat beradaptasi dengan situasi rumah sakit yang berbeda dengan rumah sendiri (Keliat, 2001).
Penjabaran pedoman orientasi ruangan pada pasien anak antara lain :
Pasien hospitalisasi hari pertama dikenalkan pada perawat jaga.
1. Memberikan orientasi ruangan kepada pasien :
a. Tempat tidur dan fasilitas lainnya.
b. Cara memanggil petugas (tombol, bel, lampu, jika ada).
c. Hiburan (Televisi, jika ada).
d. Kamar mandi.
2. Memperkenalkan teman sekamar.
3. Memberitahukan adanya tempat bermain.
4.  Memberitahukan peraturan rumah sakit : jam berkunjung, siapa yang boleh bekunjung, jam makan, aturan membawa makan, waktu istirahat, mandi, dan lain – lain.
5. Melaksanakan kegiatan rutin: observasi tanda-tanda vital, menimbang berat badan (Nursalam, 2008).
Berdasarkan data WHO tahun 2010 bahwa 3-10% pasien anak yang dirawat di Amerika Serikat mengalami stress selama hospitalisasi. Sekitar 3 sampai dengan 7 % dari anak usia sekolah yang dirawat di Jerman juga mengalami hal yang serupa, 5 sampai dengan 10% anak yang dihospitalisasi di Kanada dan Selandia Baru juga mengalami stress selama dihospitalisasi.
Data di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa 35 dari 420 anak yang dirawat di rumah sakit sepanjang tahun 2010 mengalami stress selama hospitalisasi. Demikian juga menurut Whenny  bahwa 1/3 dari anak yang dirawat di berbagai rumah sakit yang ada di Mojokerto tahun 2010 mengalami stress selama menjalani hospitalisasi.
Salah satu bentuk perilaku maladaptif pasien usia sekolah akibat hospitalisasi adalah perpisahan dengan orang tua dan teman sebaya. Hal-hal yang menunjukkan kecemasan akibat perpisahan, serta rasa takut lainnya yaitu dengan anak merasa kesepian, bosan, menarik diri, depresi, marah, frustasi, dan bermusuhan. Sedangkan mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu regresi mengacu pada kecenderungan untuk kembali pada tahap perilaku yang lebih dini dn lebih primitif (Wong, 2000). Biasanya anak juga menanggapi perawatan di rumah sakit dengan reaksi menjerit – jerit, mengompol, atau perilaku lain yang lebih pantas untuk tahap usia yang lebih awal.
Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2003) menyimpulkan bahwa pola perilaku kecemasan karena perpisahan pada anak selama hospitalisasi pertama menampakkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tahap tahap perkembangan usianya. Respon perilaku yang ditunjukkan pada saat hospitalisasi pertama hampir semua anak usia sekolah berperilaku maladaptif.
Respon perilaku maladaptif pada anak akibat tidak dilakukan orientasi ruangan dapat menghambat pemberian pelayanan baik perawatan maupun pengobatan (Nursalam 2005).