IMUNISASI DAN ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, rongga telingga tengah dan pleura. ISPA secara umum berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2002). World Health Organization (WHO), memperkirakan insidens infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pnemonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ±4 juta anak balita setiap tahun (Depkes RI, 2000, dalam Syair, 2009).
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, menghadapi banyak masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi dan kurang gizi masih termasuk penyebab kematian balita, sehingga pada tahun 2004 Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu 52 per 1.000 kelahiran hidup. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2004) menyatakan bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian bayi serta balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh ISPA bagian bawah (Gulo, 2009). Sedangkan menurut Hasnerita (2003) ISPA merupakan penyebab kematian kedua setelah gangguan perinatal, data menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), gangguan perinatal menyebabkan kematian balita di pulau Jawa dan Bali sebesar (33,5%), dan dikuti oleh infeksi saluran pernafasan akut, dengan angka kematian balita di pulau Jawa dan Bali sebesar 32,1%.
Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Penyebab ISPA pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Penyebab ISPA di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara berkembang streptococcus pnemonia dan haemophylus influenza (Sofianty, 2009). Sedangkan menurut Prabu (2009), secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Pada faktor individu anak, faktor risikonya terdiri dari : umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi.
Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita pneumonia yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara statistis. Menurut penelitian yang dilakukan Tupasi (1985, dalam Suhandayani, 2007) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Dinkes RI, 2001, Suhandayani, 2007). Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat (Prabu, 2009).
1 komentar:
Berkunjung Sobat...
Sesama paramedis...
Posting Komentar