Minggu, 24 April 2011

Obesitas dengan Siklus Mentruasi

Obesitas atau kegemukan merupakan peningkatan berat badan yang melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat dari akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Runa, 2010). Sedangkan menurut Sarafino (1998), obesitas adalah sebagai suatu simpanan yang berlebihan dalam bentuk lemak yang berdampak buruk bagi kesehatan. Obesitas terjadi jika individu mengkonsumsi kalori yang berlebihan dari yang mereka butuhkan.
Orang yang mengalami kegemukan memiliki berat badan yang berlebihan diakibatkan oleh penimbunan lemak tubuh yang berlebihan, secara umum obesitas adalah kelebihan berat badan yang jauh melebihi berat badan normal. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria, dimana perbandingan yang normal antara lemak tubuh dan berat badan adalah 25-30% bagi wanita dan 18-23% pada pria. Seorang wanita dikatakan obesitas apabila lemak pada tubuhnya lebih dari 30% dan pria memiliki lemak lebih 25% (Wikipedia, 2007). Metode yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur tingkat obesitas adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI). Berdasarkan World Health Organization (WHO) seseorang dikatakan obesitas jika hasil IMTnya sebesar 30,0-34,9 (Sudoyo, dalam Indika, 2010).
Beberapa penyebab dari terjadinya obesitas adalah dikarenakan terlalu sedikitnya aktifitas fisik dan juga disebabkan karena kebiasaan makan yang berlebihan. Faktor genetik dan faktor lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan kemauan dan pilihan gaya hidup membuat sebagian orang rawan terhadap obesitas. Termasuk pula diantaranya faktor regulasi metabolisme yang salah, ketidakmampuan mengenali sinyal tubuh akan rasa lapar dan kenyang dan perkembangan jumlah sel lemak yang abnormal (Papalia, dalam Indika, 2010).
Dampak buruk obesitas terhadap kesehatan, sangat berhubungan dengan berbagai macam penyakit yang serius, seperti tekanan darah tinggi, jantung, diabetes melitus dan penyakit pernafasan. Sedangkan menurut Runa (2010), seseorang yang mengidap obesitas biasanya mengalami peningkatan risiko terserang berbagai penyakit dan gangguan kesehatan, salah satunya adalah mengalami gangguan siklus menstruasi.
Setiap wanita memiliki sepasang ovarium yang tiap bulan menghasilkan sebuah sel telur (ovum), yang siap untuk dibuahi melalui sebuah mekanisme siklus mentruasi. Pematangan ovum (ovulasi) merupakan kunci penting bagi wanita dalam menjalani kehidupan reproduksinya untuk mendapatkan keturunan dikemudian hari. Kehidupan reproduksi seorang wanita dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang nantinya berpotensi menimbulkan gangguan. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kegemukan (obesitas), yang identik dengan hiperkolesterolemia. Pengaruh obesitas terhadap hambatan proliferasi folikel serta pematangan ovum, yang pada akhirnya termanifestasi sebagai gangguan siklus menstruasi (Runa, 2010). Menstruasi adalah penumpahan lapisan uterus yang terjadi setiap bulan berupa darah dan jaringan, yang dimulai pada masa pubertas (Hupitoyo, 2011), sedangkan menurut Wiknjosastro (dalam Hupitoyo, 2011), mentruasi merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium.
Penelitian yang dilakukan Eni Purwanti (2003, dalam Hupitoyo, 2011) dan juga penelitian yang dilakukan oleh Dahliansyah (2003, dalam Hupitoyo. 2011), disebutkan bahwa ada hubungan antara lemak tubuh dengan siklus menstruasi. Salah satu hormon yang berperan dalam proses menstruasi adalah estrogen. Estrogen ini disintesis di ovarium, di adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak dan susunan saraf pusat. Menurut analisis penyebab lebih panjanganya siklus mentruasi diakibatkan jumlah estrogen yang meningkat dalam darah akibat meningkatnya jumlah lemak tubuh. Kadar estrogen yang tinggi akan memberikan feed back negatif terhadap sekresi GnRh.
Meningkatnya jumlah estrogen yang ada dalam darah disebabkan karena produksi estrogen pada sel-sel teka. Sel teka menghasilkan adrogen dan merespon luteinizing hormone (LH) dengan meningkatkan jumlah reseptor LDL (low-density lipoprotein) yang berperan dalam pemasukan kolesterol ke dalam sel. LH juga menstimulasi aktivitas protein khusus (P450scc), yang menyebabkan peningkatan produksi adrogen. Ketika adrogen berdifusi ke sel granulosa dan jaringan lemak, makin banyak pula estrogen yang terbentuk. Pada wanita yang gemuk tidak hanya kelebihan adrogen tetapi juga kelebihan estrogen akibatnya akan sering terjadi gangguan fungsi ovarium (Hupitoyo. 2011).

Rabu, 20 April 2011

Bahaya Rokok Bagi Kesehatan

1. Pengertian
Rokok adalah silider dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya (Wikipedia, 2010).

2. Klasifikasi Perokok
Pengukuran tentang kebiasaan merokok pada seseorang dapat ditentukan pada suatu kriteria yang dibuat berdasarkan anamnesis atau menggunakan kriteria yang telah ada. Biasanya batasan yang digunakan adalah berdasarkan jumlah rokok yang dihisap setiap hari atau lamanya kebiasaan merokok. Menurut Sweeting (dalam Alamsyah, 2009) membagi perokok menjadi tiga katagori, yaitu:
a. Bukan perokok (non smokers) adalah seorang yang belum pernah mencoba merokok sama sekali.
b. Perokok eksperimen (experimental smokers) adalah seseorang yang telah mencoba merokok tapi tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan.
c. Perokok tetap atau perokok reguler (regular smokers) adalah seseorang yang teratur merokok baik dalam hitungan mingguan atau dengan intensitas yang lebih tinggi lagi.
Sedangkan menurut Sitepoe (dalam Alamsyah, 2009) membagi perokok atas empat bagian, yaitu:
a. Perokok ringan adalah seorang yang mengkonsumsi rokok antara 1-10 batang perhari.
b. Perokok sedang adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 11-20 batang perhari.
c. Perokok berat adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang perhari.
Berdasarkan uraian diatas, maka kebiasaan dibagi menjadi perokok dan bukan perokok. Perokok adalah seseorang yang merokok sedikitnya 1 batang perhari selama sekurang-kurangnya 1 tahun. Jenis perokok dapat dibagi menjadi perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. Perokok ringan jika menghisap rokok kurang dari 10 batang per hari, perokok sedang jika menghisap rokok 10-20 batang per hari dan perokok berat jika menghisap rokok lebih dari 20 batang per hari, sedangkan bukan perokok adalah seseorang yang belum pernah mencoba rokok dan pernah mencoba tetapi tidak rutin merokok sebanyak 1 batang per hari selama 1 tahun.
Menurut Bustan (1997) merokok dimulai sejak umur < 10 tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-responde effect, artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya.
Cara menghisap rokok juga dapat dibedakan menjadi:
a. Begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal).
b. Ditelan sampai ke dalam mulut (dimulut saja).
c. Ditelan sampai di kerongkongan (isapan dalam).
Rokok yang dihisap dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah, namun rokok akan mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatnya yaitu tembakau. Di Indonesia tembakau ditambah cengkeh dan bahan–bahan lain dicampur untuk dibuat rokok. Selain itu juga masih ada beberapa jenis rokok yang dapat digunakan yaitu rokok linting, rokok putih, rokok cerutu, rokok pipa, rokok kretek, rokok klobot dan rokok tembakau tanpa asap (tembakau kunyah) (Sitepoe, 1997).
Dalam peraturan (PP) Nomor 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan, pemerintah menentukan kandungan kadar nikotin sebanyak 1,5 mg dan kandungan kadar tar sebanyak 20 mg pada rokok kretek. Dan rokok kretek menggunakan tembakau rakyat. Tetapi menurut Direktur Agro Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) menyatakan kandungan kadar nikotin pada rokok kretek melebihi 1,5 mg yaitu 2,5 mg dan kandungan kadar tar pada rokok kretek melebihi 20 mg yaitu 40 mg. Rokok kretek mengandung 60–70 tembakau, sisanya 30%–40% cengkeh dan ramuan lain. Cengkeh mengandung eugenol yang dianggap berpotensi menjadi penyebab kanker pada manusia dan terkait dengan zat kimia satrol yang menjadi salah satu penyebab kanker ringan (Pdpersi, 2003).

3. Kandungan Rokok
Menurut Ariyantono (2009), kandungan bahan kimia pada rokok adalah sebagai berikut:
a. Tar
Tar sebagai getah tembakau adalah zat berwarna coklat berisi berbagai jenis hidrokarbon aromatik polisiklik, amin aromatik dan N-nitrosamine. Tar yang dihasilkan asap rokok akan menimbulkan iritasi pada saluran napas, menyebabkan bronchitis, kanker nasofaring dan kanker paru.
b. Nikotin
Nikotin adalah bahan alkaloid toksik yang merupakan senyawa amin tersier, bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Pada pH fisiologis, sebanyak 31% nikotin berbentuk bukan ion dan dapat melalui membran sel. Asap rokok pada umumnya bersifat asam (pH 5,5). Pada pH ini nikotin berada dalam bentuk ion dan tidak dapat melewati membran secara cepat sehingga di mukosa pipi hanya terjadi sedikit absorpsi nikotin dari asap rokok.
Pada perokok yang menggunakan pipa, cerutu dan berbagai macam sigaret Eropa, asap rokok bersifat basa dengan pH 8,5 dan nikotin pada umumnya tidak dalam bentuk ion dan dapat diabsorpsi dengan baik melalui mulut.
Nikotin juga berpengaruh terhadap pembuluh darah yakni merusak endotel pembuluh darah dan terhadap trombosit dengan meningkatkan agresi trombosit. Nikotin diduga sebagai penyebab ketagihan merokok.
c. Karbon Monoksida
Karbon monoksida (CO) adalah gas beracun yang mempunyai afinitas kuat terhadap hemoglobin pada sel darah merah, sehingga membentuk karboksi hemoglobin mencapai tingkat tertentu akan dapat menyebabkan kematian.

4. Pengaruh Rokok bagi Kesehatan
Menurut Bangfad (2008), rokok dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Adapun sistem yang dipengaruhi dan penyakit yang ditimbulkan akibat rokok adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh Sistemik Rokok
Kepadatan tulang pada perokok akan berkurang, sehingga dapat menyebabkan terjadinya patah tulang pinggul. Kepadatan tulang pada perokok diketahui lebih rendah daripada mereka yang tidak merokok.
Merokok menyebabkan penyakit arteri perifer yang dapat mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh. Yang terjadi, pembuluh arteri yang mensuplai darah ke kaki menjadi sempit dengan adanya aterosklerosis.
Meskipun aterosklerosis lebih umum dihubungkan dengan penyakit jantung, namun aterosklerosis dapat mempengaruhi arteri di bagian tubuh manapun, termasuk di kaki dan otak. Arteri yang sehat bersifat kuat, fleksibel dan elastis, serta dinding dalamnya lembut sehingga memungkinkan darah bergerak bebas sepanjang arteri untuk mensuplai jaringan dan organ.
Kanker merupakan penyakit pertama yang dihubungkan dengan rokok. Merokok dapat menyebabkan beberapa jenis kanker, diantaranya kanker mulut, kanker tenggorokan, kanker laring, dan kanker esofagus.
Dalam waktu 10 detik setelah diisap, nikotin dalam rokok akan segera mencapai otak. Saat anda mengisap rokok itulah terjadi pengiriman bahan kimia ke otak yang akan mengubah sifat kimiawi dalam otak sehingga mempengaruhi perasaan perokok. Diketahui bahwa rokok merupakan salah satu penyebab stroke.
Merokok juga dapat mempengaruhi mata. Merokok akan meningkatkan risiko terjadinya katarak 2-3 kali lebih tinggi. Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia.
Perokok akan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan bagian atas seperti flu dan radang tenggorokan karena infeksi virus atau bakteri. Merokok merusak kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, sehingga tubuh menjadi rentan terhadap penyakit.
b. Paru-paru
Pria perokok 23 kali lebih berisiko terkena kanker paru sementara wanita perokok 13 kali lebih berisiko terkena kanker paru. Merokok menyebabkan sekitar 90% kematian karena kanker paru pada pria dan sekitar 8% pada wanita. Namun mengisap rokok rendah nikotin dan tar tidak akan menurunkan risiko kanker paru.
Merokok menyebabkan kerusakan saluran napas pada paru-paru yang dapat mengakibatkan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), termasuk emfisema. Perokok berisiko terkena infeksi saluran pernapasan bagian bawah, seperti pneumonia atau bronkitis akut yang disebabkan infeksi virus atau bakteri.
Merokok berhubungan dengan asma pada anak dan remaja. Asma merupakan penyakit yang ditandai dengan pembengkakan pada saluran napas, menyebabkan terjadinya penyempitan, dan menghambat aliran udara dari dan ke dalam paru-paru.
Merokok berhubungan dengan batuk kronis dan napas berbunyi. Merokok selama masa anak-anak dan remaja akan mengganggu perkembangan paru-paru. Fungsi paru, yang diukur dari seberapa efektif paru-paru memindahkan udara dari dan ke dalam tubuh, menurun secara alami sejalan dengan usia. Penurunan ini makin cepat pada perokok. Merokok selama masa kehamilan dapat menurunkan fungsi paru pada janin.
c. Jantung
Merokok menyebabkan penyakit jantung koroner. Merokok dihubungkan dengan segala jenis kematian karena serangan jantung pada pria dan wanita. Penyakit jantung koroner karena merokok dapat berkontribusi pada gagal jantung kongestif. Namun mengisap rokok rendah nikotin dan tar tidak akan menurunkan risiko penyakit jantung koroner.
Merokok menyebabkan aterosklerosis (pengerasan arteri). Racun dalam darah yang berasal dari rokok berkontribusi menimbulkan aterosklerosis. Banyak kasus penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit arteri disebabkan oleh aterosklerosis.

Efek Kopi bagi Kesehatan

1. Pengertian
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi (Wikipedia, 2009).

2. Kandungan Kafein pada Kopi
Kopi terkenal akan kandungan kafeinnya yang tinggi. Kafein sendiri merupakan senyawa hasil metabolisme sekunder golongan alkaloid dari tanaman kopi dan memiliki rasa yang pahit. Berbagai efek kesehatan dari kopi pada umumnya terkait dengan aktivitas kafein di dalam tubuh. Peranan utama kafein ini di dalam tubuh adalah meningkatkan kerja psikomotor sehingga tubuh tetap terjaga dan memberikan efek fisiologis berupa peningkatan energi. Efeknya ini biasanya baru akan terlihat beberapa jam kemudian setelah mengkonsumsi kopi. Kafein tidak hanya dapat ditemukan pada tanaman kopi, tetapi juga terdapat pada dauh teh dan biji cokelat. Kopi mengandung kafein ±85 mg dalam 1 sendok, yang dicampur dengan air panas 150-250 mg (Wikipedia, 2009).

3. Efek Kopi untuk Kesehatan
a. Efek Jangka Pendek
The Pharmacological of Therapeutics oleh Dr. J Murdoch Ritchie (dalam Wikipedia, 2009), disebutkan bahwa efek positif dari kafein antara lain: menambah kecepatan berpikir dan inspirasi, menyembuhan rasa ngantuk dan kelelahan, peningkatan sensor stimuli dan reaksi motorik. Kafein yang terkandung dalam 1 sampai 2 cangkir kopi dapat menambah detak jantung, melebarkan pembuluh darah, mendorong aliran-aliran sampah cair maupun padat dari dalam tubuh, sehingga badan terasa lebih segar. Sedangkan efek negatif kafein bila diserap oleh tubuh secara berlebihan antara lain: kecemasan kronis, gelisah, lekas marah, insomnia, dan diare. Kafein dalam jumlah besar (10 cangkir kopi yang diminum berturut-turut) akan bersifat racun bagi tubuh.
b. Efek Jangka Panjang
Para peneliti sejak lebih dari 20 tahun yang lalu sudah berusaha menghubungkan kopi atau kafein yang terkandung di dalamnya dengan berbagai macam penyakit, tetapi sampai saat ini tidak mendapatkan bukti yang menyakinkan. Tahun 70-an di Amerika Serikat pernah dipublikasikan bahwa meminum 12-24 gelas kopi sehari dapat menyebabkan gangguan kehamilan.

4. Mekanisme Kerja Kafein pada Hormon-Hormon yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Kopi menyebarkan efeknya melalui kandungan yang ada didalamnya yakni kafein yang akan menyebabkan perubahan hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah. Kafein mengurung reseptor adenosin di otak. Adenosin ialah senyawa nukleotida yang berfungsi mengurangi aktivitas sel saraf saat tertambat pada sel tersebut. Seperti adenosin, molekul kafein juga tertambat pada reseptor yang sama, tetapi akibatnya berbeda. Kafein tidak akan memperlambat aktivitas sel saraf atau otak sebaliknya menghalang adenosin untuk berfungsi. Dampaknya aktivitas otak meningkat dan mengakibatkan hormon epinefrin dirembes. Hormon tersebut akan menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran darah ke otot-otot, mengurangi penyaluran darah ke kulit dan organ dalam, dan mengeluarkan glukosa dari hati. kafein juga dapat menaikkan permukaan neurotransmitter dopamine di otak (Ikatya, 2010).
Kafein dapat dikeluarkan dari otak dengan cepat, tidak seperti alkohol atau perangsang sistem saraf pusat yang lain. kafein tidak mengganggu fungsi mental tinggi dan tumpuan otak. Pengambilan kafein secara berkelanjutan akan menyebabkan badan menjadi toleran dengan kehadiran kafein. Oleh itu, jika pengambilan kafein diberhentikan (proses ini dinamakan "penarikan" atau "tarikan"), badan menjadi terlalu sensitif terhadap adenosin menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak yang seterusnya mengakibatkan sakit kepala dan sebagainya (Ikatya, 2010).

Hipertensi

1. Pengertian
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Masjoer, 2001).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smletzer dan Bare, 2002).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan di ukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda, secara umum seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari pada 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (ditulis 140/90 mmHg) (Corwin, 2001).
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah tekanan darah persisten, dimana tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.

2. Klasifikasi Hipertensi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih klasifikasi sesuai WHO (World Health Organization) karena sederhana dan memenuhi kebutuhan, tidak bertentangan dengan strategi terapi, tidak meragukan karena memiliki sebaran luas dan tidak rumit, serta terdapat pula unsur sistolik yang juga penting dalam penentuan (Mansjoer, 2001). Adapun klasifikasi hipertensi menurut WHO, adalah sebagai berikut:
a. Normotensi: sistolik (<140 mmHg)/ diastolik (<90mmHg)
b. Hipertensi ringan: sistolik (140-180 mmHg)/ diastolik (90-105 mmHg)
c. Hipertensi perbatasan: sistolik (140-160 mmHg)/ diastolik (90-95 mmHg)
d. Hipertensi sedang dan berat: sistolik (>180 mmHg)/ diastolik (>105 mmHg)
e. Hipertensi sistolik terisolasi: sistolik (>140 mmHg)/ diastolik (<90 mmHg)
f. Hipertensi sistolik perbatasan: sistolik (140-160 mmHg)/ diastolik (<90 mmHg).

3. Etiologi
Menurut Mansjoer (2001) etiologi hipertensi dibagi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer
Hipertensi ensensial atau primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktvitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol/caffein, merokok serta polisitemia.
b. Hipertensi Sekunder atau Hipertensi Renal.
Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Chusing, feokromositoma, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain.

4. Faktor Risiko Hipertensi
Menurut Irza (2009), hipertensi merupakan penyakit yang timbul karena interaksi berbagai faktor risiko. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan tingkat keparahan dari faktor risiko yang dapat dikontrol seperti stres, obesitas, konsumsi lemak, konsumsi natrium, merokok, konsumsi alkohol dan kafein; serta faktor risiko yang tidak dapat dikontrol seperti: genetik, usia, jenis kelamin dan etnis.

a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dikontrol

1) Faktor Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Irza, 2009).
2) Usia
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh karena interaksi berbagai faktor risiko yang dialami seseorang. Pertambahan usia mengakibatkan berbagai perubahan fisiologis dalam tubuh seperti penebalan dinding arteri akibat penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku yang dimulai pada usia 45 tahun. Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 40 tahun namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia muda. Boedhi Darmoejo (dalam Alamsyah, 2009) pada tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa 1,8%-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi. Insiden hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Seseorang yang berumur di 60 tahun, 50-60% memiliki tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg.
3) Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria hampir sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis (Irza, 2009).
4) Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin lebih besar.

b. Faktor Risiko yang Dapat Dikontrol
1) Obesitas
Obesitas merupakan keadaan berlebihan berat badan sebesar 20% atau lebih dari berat ideal. Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja yang mengalami kegemukan cenderung mengalami hipertensi. Ada dugaan bahwa meningkatnya berat badan normal relatif sebesar 10% mengakibatkan kenaikan tekanan darah 7 mmHg (Alamsyah, 2009).
2) Konsumsi Lemak
Kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh erat kaitanya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayur, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
3) Konsumsi Natrium
Garam merupakan faktor penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang rendah.
4) Merokok
Hubungan antara merokok dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular telah banyak dibuktikan. Selain lamanya merokok, risiko akibat merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang diisap per hari. seseorang yang merokok lebih dari satu pak (15 batang) rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan untuk menderita hipertensi dan penyakit kardiovaskular dari pada mereka yang tidak merokok.
5) Konsumsi Alkohol dan Kafein
Konsumsi secara berlebihan alkohol dan kafein yang terdapat dalam minuman kopi, teh dan cola akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada seseorang. Kafein dapat menstimulasi jantung untuk berkerja lebih cepat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.
6) Stres
Stres diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui aktivasi saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten.

5. Gejala Klinis Hipertensi
Menurut Corwin (2001), sebagain besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun, adalah berupa:
a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
e. Edema dependen dan pembengkakkan akibat peningkatan tekanan kapiler.

6. Perangkat Diagnostik
Pengukuran tekanan darah menggunakan sfignomanometer akan memperlihatkan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik jauh sebelum adanya gejala-gejala penyakit (Corwin, 2001).

7. Penatalaksanaan Hipertensi
Menurut Sianturi (2004), penatalaksanaan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Penatalaksanaan secara Non Farmakologis.
1) Mengurangi konsumsi garam.
2) Menghindari kegemukan (obesitas).
3) Membatasi konsumsi lemak.
4) Olahraga teratur.
5) Makan banyak buah dan sayuran segar.
6) Tidak merokok dan minum alkohol.
7) Latihan relaksasi atau meditasi.
8) Berusaha dan membina hidup yang positif.
b. Penatalaksanaan secara Farmakologis
Pada umumnya pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan hipertensi adalah diuretik, penghambat adrenergik, angiotensin coverting enzyme inhibitor (ACE-inhibitor), angiotensisn-II-bloker, antagonis kalsium dan vasodilator.

Pengaruh Rokok dan Kopi Terhadap Tekanan Darah

Rokok dan kopi dihubungkan dengan hipertensi, walaupun mekanisme secara pasti belum diketahui. Rokok mengandung nikotin sebagai penyebab ketagihan yang akan merangsang jantung, saraf, otak dan bagian tubuh lainnya sehingga bekerja tidak normal, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut nadi dan tekanan kontraksi jantung (Sianturi, 2004).
Merokok diketahui memberi efek perubahan metabolik berupa pelepasan hormon pertumbuhan serta meningkatkan asam lemak, gliserol dan laktat, menyebabkan penurunan HDL (High Density Lipid) kolesterol, meningkatkan LDL (Low Density Lipid) kolesterol dan trigliserida, juga berperan sebagai penyebab peningkatan resistensi insulin dan hipersulinemia yang pada akhirnya menyebabkan kelainan jantung, pembuluh darah dan hipertensi serta meningkatkan risiko penyakit jantung koroner maupun kematian otot jantung (Sani, 1994, dalam Sianturi, 2004).
Menurut Dr. Logan Clending (dalam Sianturi, 2004), tembakau mempunyai efek yang cukup besar. Pada prinsipnya efek tersebut merupakan penyempitan pembuluh darah, melalui lapisan otot pembuluh itu dan kenaikan tekanan darah. Sedangkan menurut Dr. Emil Bogen, Profesor Kesehatan Masyarakat, University of Cincinnati dan pengarang banyak kajian ilmiah dan biokimia sehubungan dengan tembakau mengungkapkan pendapat bahwa sirkulasi darah bereaksi terhadap nikotin dengan penyempitan pembuluh darah yang diikuti dengan kenaikan tekanan darah. Bermacam peralatan yang digunakan untuk merekam tekanan darah menunjukkan perubahan pada catatan sistolik setelah seorang merokok beberapa batang. Juga ada bukti positif bahwa merokok menyebabkan sekresi kelenjar adrenalin yang pada gilirannya menaikkan tekanan darah (Sianturi, 2004).
Jose Roesma (dalam Sianturi, 2004), dari sub bagian ginjal dan hipertensi bagian ilmu penyakit dalam FKUI/RSCM dalam bahasanya mengenai rokok dan hipertensi menyatakan bahwa asap rokok diketahui mengandung tidak kurang dari 4.000 jenis bahan kimia yang merugikan kesehatan bagi perokok aktif maupun pasif, dimana jika seseorang yang menghisap rokok, denyut jantungnya akan meningkat sampai 30% setelah 10 menit, tekanan sistolik naik 10% dan diastoliknya naik 7%. Secara kronis, pengaruhnya belum diketahui dengan jelas tetapi dari penelitian epidemiologi diketahui bahwa kalangan perokok menderita komplikasi kardiovaskuler 2-3 kali lebih sering bila dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Penelitian lain menurut Abulnaja (2007, dalam Irza, 2009) yang menemukan bahwa E-selectin, sCAM-1, dan sVCAM-1 (agen-agen inflamasi alami) memiliki hubungan bahwa kadar ketiga zat tersebut pada penderita hipertensi jauh lebih tinggi dibandingkan pada orang normotensif dan demikian juga halnya pada penderita hipertensi yang merupakan perokok atau mantan perokok dibandingkan bukan perokok. Tingginya kadar ketiga zat tersebut akan mengakibatkan kerusakan endotelium vaskular yang merupakan risiko timbulnya penyakit hipertensi dan kardiovaskular.
Selain rokok, kopi juga berakibat buruk bagi penderita hipertensi. Kopi mengandung kafein yang meningkatkan debar jantung dan naiknya tekanan darah. Pemberian kafein 150 mg atau 2-3 cangkir kopi akan meningkatkan tekanan darah 5-15 mmHg dalam waktu 15 menit. Peningkatan tekanan darah ini bertahan sampai 2 jam, diduga kafein mempunyai efek langsung pada medula adrenal untuk mengeluarkan epinefrin. Konsumsi kopi menyebabkan curah jantung meningkat dan terjadi peningkatan sistole yang lebih besar dari tekanan diastole. Hal ini terlihat pada orang yang bukan peminum kopi atau peminum kopi yang menghentikannya paling sedikit 12 jam sebelumnya (Sianturi, 2004).

Hubungan Status Imunisasi dengan ISPA pada balita

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, rongga telingga tengah dan pleura. ISPA secara umum berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2002). World Health Organization (WHO), memperkirakan insidens infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pnemonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ±4 juta anak balita setiap tahun (Depkes RI, 2000, dalam Syair, 2009).
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, menghadapi banyak masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi dan kurang gizi masih termasuk penyebab kematian balita, sehingga pada tahun 2004 Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu 52 per 1.000 kelahiran hidup. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2004) menyatakan bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian bayi serta balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh ISPA bagian bawah (Gulo, 2009). Sedangkan menurut Hasnerita (2003) ISPA merupakan penyebab kematian kedua setelah gangguan perinatal, data menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), gangguan perinatal menyebabkan kematian balita di pulau Jawa dan Bali sebesar (33,5%), dan dikuti oleh infeksi saluran pernafasan akut, dengan angka kematian balita di pulau Jawa dan Bali sebesar 32,1%.
Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Penyebab ISPA pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Penyebab ISPA di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara berkembang streptococcus pnemonia dan haemophylus influenza (Sofianty, 2009). Sedangkan menurut Prabu (2009), secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Pada faktor individu anaka, faktor risikonya terdiri dari : umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi.
Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita pneumonia yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara statistis. Menurut penelitian yang dilakukan Tupasi (1985, dalam Suhandayani, 2007) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Depkes RI, 2001, Suhandayani, 2007). Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat (Prabu, 2009). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413), artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status imunisasinya tidak lengkap.

Imunisasi merupakan hal perlu bagi bayi, oleh karena dengan imunisasi maka bayi akan diberikan perlindungan atau kekebalan terhadap penyakit.

ANTARA KOPI, ROKOK DAN TEKANAN DARAH TINGGI (HIPERTENSI)

Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (ditulis 140/90) (Corwin, 2001). Hipertensi merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Hipertensi disebut sebagai” silent killer” karena orang dengan hipertensi sering tidak menampakkan gejala. Institut Nasional Jantung, Paru dan Darah memperkirakan separuh orang yang menderita hipertensi tidak sadar akan kondisinya. Begitu penyakit ini diderita, tekanan darah pasien harus dipantau dengan interval teratur karena hipertensi merupakan kondisi seumur hidup (Smeltzer dan Bare, 2002).
Berdasarkan data Lancet (dalam McMarthy, 2010), jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia terus meningkat. Di India, penderita hipertensi mencapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 dan diperkirakan 107,3 juta orang pada tahun 2025. Di China, 98,5 juta orang dan bakal jadi 151,7 juta orang pada tahun 2025. Di bagian lain di Asia, tercatat 38,4 juta penderita hipertensi pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 67,4 juta orang tahun 2025. Di Indonesia, mencapai 17-21% dari populasi penduduk dan kebanyakan tidak terdeteksi. Seseorang bisa menderita hipertensi tanpa merasakan gangguan atau gejalanya. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) (dalam McMarthy, 2010), dari 50% penderita hipertensi yang terdeteksi, hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% bisa diobati dengan baik. Tercatat 90% atau lebih penderita hipertensi tidak diketahui penyebabnya sehingga hipertensi termasuk penyakit primer. Sisanya, 10% atau kurang adalah hipertensi yang disebabkan penyakit lain seperti ginjal dan beberapa gangguan kelenjar endokrin tubuh (McMarthy, 2010).
Menurut Masjoer (2001), berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya disebut juga hipertensi idiopatik dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Sedangkan menurut Sianturi (2004), faktor risiko penyebab hipertensi dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dihindari dan faktor risiko yang tidak dapat dihindari. Faktor risiko yang dapat dihindari yaitu: obesitas (kegemukan), konsumsi garam berlebihan, merokok dan minum kopi, alkohol, stress dan ketegangan jiwa dan kurang olahraga, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dihindari yaitu: faktor genetik, umur, jenis dan ras atau suku bangsa.
Merokok dan minum kopi merupakan kebiasaan di masyarakat pedesaan yang menjadi rutin pada pagi dan setelah makan (Ngateni, 2010). Menurut Sianturi (2004) rokok mengandung nikotin yang menyebabkan ketagihan sehingga akan merangsang jantung, saraf, otak dan bagian tubuh lainnya bekerja tidak normal, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut nadi dan tekanan kontraksi jantung. Merokok juga diketahui memberi efek perubahan metabolik berupa pelepasan hormon pertumbuhan, serta meningkatkan asam lemak bebas, gliserol dan laktat, menyebabkan penurunan HDL (High Density Lipid) kolesterol, meningkatkan LDL (Low Density Lipid) kolesterol dan trigliserida, juga berperan sebagai penyebab peningkatan resistensi insulin yang dapat menyebabkan hiperinsulinemia sehingga berdampak buruk pada jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi serta peningkatan resiko penyakit jantung koroner ataupun kematian otot jantung .
Menurut Roesma (dalam Sianturi, 2004) menyatakan bahwa asap rokok diketahui mengandung tidak kurang dari 4.000 jenis bahan kimia yang merugikan kesehatan baik bagi perokok aktif maupun pasif, dimana jika seseorang yang menghisap rokok, denyut jantungnya akan meningkat sampai 30% setelah 10 menit, tekanan sistolik naik 10% dan diastoliknya naik 7%. Secara kronis, pengaruhnya belum diketahui dengan jelas tetapi dari penelitian epidemiologi diketahui bahwa kalangan perokok menderita komplikasi kardiovaskuler 2-3 kali lebih sering bila dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Selain rokok, kopi juga berakibat buruk bagi penderita hipertensi. Kopi mengandung kafein yang meningkatkan debar jantung dan naiknya tekanan darah. Pemberian kafein 150 mg atau 2-3 cangkir kopi akan meningkatkan tekanan darah 5-15 mmHg dalam waktu 15 menit. Peningkatan tekanan darah ini bertahan sampai 2 jam, diduga kafein mempunyai efek langsung pada medula adrenal untuk mengeluarkan epinefrin. Konsumsi kopi menyebabkan curah jantung meningkat dan terjadi peningkatan sistole yang lebih besar dari tekanan diastole (Sianturi, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ngateni (2010), didapatkan hasil penelitian bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi adalah kebiasaan minum kopi (p=0,016) dengan Odd Rasio (OR)=3,35, kebiasaan merokok (p=0,0178) dengan Odd Rasio (OR)=3,18 dan stress (p=0,026) dengan Odd Rasio (OR)=3,13.
Maka perlu dipertimbangkan untuk mengkonsumsi rokok dan minum kopi yang berlebih, ada baiknya berhenti merokok dan mengkonsumsi kopi yang tidak berlebihan apalagi yang mempunyai risiko tekanan darah tinggi.

MANFAAT MOBILISASI DINI PADA POST APENDIKTOMI

Apendisitis adalah peradangan apendiks yang relatif sering dijumpai yang dapat timbul tanpa sebab yang jelas atau timbul setelah obstruksi apendiks oleh tinja atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya. Peradangan menyebabkan apendiks membengkak dan nyeri yang dapat menimbulkan gangren karena suplai darah terganggu (Corwin, 2001).
Apendisitis merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, serta penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka, pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita, dan remaja lebih sering pada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), penatalaksanaan apendiksitis diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dengan anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah itu bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 2002).
Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan tubuh. Untuk menjaga homeostasis, tubuh melakukan mekanisme untuk segera melakukan pemulihan pada jaringan tubuh yang mengalami perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien (Fields, dalam Ani, 2010). Pada proses operasi digunakan anestesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar, ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan (Wall & Jones, dalam Ani, 2010).
Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu (Potter & Perry, 2006). Nyeri yang dirasakan pada pasien post operasi apendiks akan memperparah keadaan pasien dan bahkan menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi pada apendiks.
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Bare, 2002).
Untuk mencegah komplikasi pada pasien post operasi apendiks, pasien mesti dilakukan mobilisasi dini sesuai dengan tahapanya. Oleh karena setelah mengalami apendiktomi, pasien disarankan tidak malas untuk bergerak pasca operasi, pasien harus mobilisasi cepat. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-hati.
Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian (Carpenito, dalam Fitriyahsari, 2009). Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation. Dengan bergerak, otot-otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian penderita merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan dan mempercepat kesembuhan (Mochtar, dalam Fitriyahsari, 2009).

Persepsi

PERSEPSI

1. Pengertian

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu (Sunaryo, 2004).

Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterprestasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dengan aktivitas yang integrated dalam diri individu (Walgito, dalam Sunaryo, 2004).

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, pengorganisasian, penginterprestasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga memberikan perhatian kepada individu sehingga dapat disadari sebagai sesuatu yang berarti dan merupakan ativitas yang integrated.

2. Tahapan persepsi
Menurut Lubis (2010), tahapan dari persepsi meliputi :
a. Penginderaan (Sensasi), melalui alat-alat indra (indra perasa, indra peraba, indra pencium, indra pengecap dan indra pendengar). Makna pesan dikirimkan ke otak harus dipelajari. Semua indra itu mempunyai andil bagi berlangsungnya komunikasi manusia, penglihatan menyampaikan pesan nonverbal ke otak untuk diinterprestasikan. Pendengaran juga menyampaikan pesan verbal ke otak untuk ditafsirkan. Penciuman, setuhan dan pengecapan, terkadang memainkan peranan penting dalam komunikasi, seperti bau parfum yang menyengat, jabatan tangan yang kuat, dan rasa air garam dipantai.
b. Perhatian (Atensi) adalah pemoresan secara sadar sejumlah kecil informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumber daya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Atensi dapat merupakan proses sadar maupun tidak sadar.
c. Interprestasi adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interprestasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interprestasi berurutan).

3. Macam-macam persepsi
Persepsi dibagi menjadi dua macam persepsi (Sunaryo, 2004), yaitu :
a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar diri individu.
b. Self perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya ssendiri.

4. Proses persepsi
Dengan persepsi individu dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan lingkungan di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (self perseption) (Sunaryo, 2004).
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului pengindraan, yaitu dengan diterimanya stimulus oleh reseptor, diteruskan ke otak atau pusat saraf yang diorganisasikan dan diinterprestasikan sebagai proses psikologis. Akhirnya individu menyadari tentang apa yang dilihat dan didengarkan.

5. Persyaratan persepsi.
Syarat terjadinya persepsi (Sunaryo, 2004), yaitu :
a. Objek : adanya stimulus dari panca indera sebagai reseptor yang berasal dari luar individu baik dari luar dan dari dalam diri individu.
b. Perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan stimulus persepsi.
c. Adanya alat indra sebagai reseptor penerima stimulus.
d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak (pusat saraf atau pusat kesadaran). Dari otak dibawa melalui saraf motoris sebagai alat untuk mengadakan respons.

6. Proses terjadinya persepsi
Menurut Sunaryo (2004) persepsi melewati tiga proses, yaitu :
a. Proses fisik, dimana diawali dari adanya objek sebagai stimulus yang selanjutnya diterima oleh resptor atau alat indera.
b. Proses fisiologis, stimulus selanjutnya diteruskan ke otak melalui saraf sensoris.
c. Proses psikologis, proses dalam otak sehingga individu menyadari stimulus yang diterima.

Rabu, 06 April 2011

Komunikasi Terapeutik

Komunikasi Terapeutik

1. Pengertian

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Musliha dan Fatmawati, 2009).

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan, disengaja dan merupakan tindakan profesional. Komunikasi terapeutik bertujuan membantu klien mencapai hubungan baik perawat dan klien dan membantu klien memahami tujuan dari tindakan perawatan yang dilakukan (Potter & Perry, 2005).

Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dan klien yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan klien (Videbeck, 2008).

2. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Menurut Videbeck (2008), komunikasi terapeutik digunakan untuk mencapai banyak tujuan, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Membangun hubungan terapeutik perawat-klien.

b. Mengidentifikasi masalah klien yang paling penting pada saat tersebut tepat pada waktunya (tujuan berpusat pada klien).

c. Mengkaji persepsi klien tentang masalah saat klien terbuka dalam menceritakan peristiwa tersebut.

d. Mengenali kebutuhan mendasar klien.

e. Mamandu klien dalam mengidentifikasi cara pencapaian solusi yang memuaskan dan dapat diterima oleh klien.

3. Prinsip Komunikasi Terapeutik

Menurut Nurjannah (2004), prinsip komunikasi terapeutik, sebagai berikut:

a. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.

b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.

c. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.

d. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

e. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap maupun tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

f. Perawat harus mampu menguasasi perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi.

g. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.

h. Memahami betul arti simpati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.

4. Teknik Komunikasi Terapeutik

Menurut Musliha dan Fatmawati (2009), adapun teknik dalam komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut:

a. Mendengar aktif

Mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian akan menunjukkan pada orang lain bahwa apa yang dikatakannya adalah penting dan dia adalah orang yang penting.

b. Mendengarkan pasif

Kegiatan mendengar dengan kegiatan non verbal.

c. Penerimaan

Mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai.

d. Klarifikasi

Klasifikasi sama dengan validasi yaitu menanyakan pada klien apa yang tidak dimengerti perawat terhadap situasi yang ada.

e. Focusing

Kegiatan komunikasi yang dilakukan untuk membatasi area diskusi sehingga percaya menjadi spesifik dan dimengerti.

f. Observasi

Kegiatan mengamati klien, kegiatan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga klien tidak menjadi malu atau marah.

g. Menawarkan informasi

Menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk mendapatkan respon lebih lanjut.

h. Diam (memelihara ketenagan)

Dilakukan dengan tujuan untuk mengorganisir pemikiran, memproses informasi, menunjukkan bahwa perawat bersedia untuk menunggu respon.

i. Assertive

Kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman mengekspresikan pikiran perasaan diri dengan tetap menghargai hal orang lain.

j. Menyimpulkan

Membawa poin-poin penting dari diskusi untuk meningkatkan pemahaman. Memberi kesempatan untuk mengklasifikasi komunikasi agar sama dengan ide dalam pikiran.

k. Giving recognition (memberikan pengakuan/penghargaan)

Merupakan teknik untuk memberikan pengakuan dan menandakan kesadaran.

l. Offering self

Menyediakan diri tenpa respon bersyarat atau respon yang diharapkan.

m. Giving broad opening (memberi pertanyaan terbuka)

Mendukung klien untuk meneruskan.

n. Placing the time in time/sequence (menempatkan urutan/waktu)

Melakukan klarifikasi antara waktu dan kejadian atau antara satu kejadian dengan kejadian lain.

o. Encourage description of perception (mendukung deskripsi dari persepsi)

Meminta pada klien mengungkapkan secara verbal apa yang dirasakan atau diterima.

p. Encourage comparison (mendukung perbadingan)

Menanyakan pada klien mengenai kesamaan atau perbedaan.

q. Restating (mengulang)

Pengulangan pikiran utama yang diekspresikan klien.

r. Reflecting (refleksi)

Mengembalikan pikiran dan perasaan klien.

s. Exploring (eksplorasi)

Mempelajari suatu topik lebih mendalam.

t. Presenting Reality (menghadirkan realitas/kenyataan)

Menyediakan informasi dengan perilaku yang tidak menilai.

u. Voucing doublt (menyelipkan karaguan)

Menyelipkan persepsi perawat mengenai realitas.

5. Faktor Penunjang dan Penghambat

Menuru Muliha dan Fatmawati (2009), faktor penunjang dan penghambat dari komunikasi terapeutik, yaitu:

a. Faktor penunjang

Faktor penunjang komunikasi terapeutik dapat dilihat dari klien dan perawat, yaitu:

1) Dilihat dari klien

Kecakapan dan kemauan klien dalam menceritakan masalahnya. Sikap klien yaitu sikap klien yang mau menceritakan masalahnya dengan sungguh-sungguh dan bersedia dibantu.

2) Dilihat dari perawat

Berhasilnya tidaknya komunikasi ditentukan oleh perawat, maka yang dibutuhkan adalah:

a) Kecakapan perawat dalam mengajukan pertanyaan terbuka yang dapat menggali seluruh masalah.

b) Sikap perawat. Harus bersikap ramah, jangan sampai klien curiga, diharapkan perawat dapat mendekati klien sehingga timbul rasa saling percaya.

c) Pengetahuan perawat. Pengetahuan yang berpengetahuan luas dengan mudah dapat mencerna ini pembicaraan serta cepat tanggap terhadap pembicaraan klien.

d) Seluruh komunikasi perawat (mata, hidung, otak, telingan dan tangan). Seluruh indera perawat harus sehat sehingga dengan cepat dapat mengambil kesimpulan pembicaraan.

b. Faktor penghambat

Faktor-faktor yang menghambat komunikasi adalah:

1) Perawat kurang cakap dalam mendengarkan dan mengajukan pertanyaan terbuka serta menyimpulkan inti pembicaraan, sehingga tidak dapat menangkan pembicaraan.

2) Sikap perawat yang acuh tak acuh, tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya, sikap yang kurang ramah terhadap klien atau keluarga.

3) Pengetahuan klien kurang. Bila demikian, hendaknya perawat dapat menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh klien.

4) Prasangka (prejudice) yang tidak mendasar yaitu kecurigaan yang tidak beralasan, dimana bisa terjadi dimasyarakat yang berpengetahuan rendah atau klien kurang mengerti tentang perawatan.

6. Tahapan Interaksi Perawat-Pasien dalam Komunikasi Terapeutik

Adapun tahapan interaksi perawat pasien dalam komunikasi (Nurjannah, 2004), yaitu sebagai berikut:

a. Tahap pre interaksi

Kegiatan yang dilakukan meliputi: mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan, fabtasi dan ketakutan klien, membuat rencana pertemuan dengan klien (kegiatan, waktu dan tempat).

b. Tahap orientasi

Kegiatan yang dilakukan meliputi: memberikan salam dan tersenyum pada klien, melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif), memperkenalkan nama perawat, menanyakan nama panggilan kesukaan klien, menjelaskan tanggung jawab perawat dan klien, menjelaskan peran perawat dan klien, menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, menjelaskan tujuan, menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan dan menjelaskan kerahasiaan.

c. Tahap kerja

Kegiatan yang dilakukan meliputi: memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, menanyakan keluhan utama atau keluhan yang mungkin berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan, memulai kegiatan dengan cara yang baik dan melakukan kegiatan sesuai dengan rencana.

d. Tahap terminasi

Kegiatan yang dilakukan meliputi: menyimpulkan hasil kegiatan (evaluasi hasil dan proses), memberikan reinforcement positif, merencanakan tindak lanjut dengan klien, melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu, tempat, topik) dan mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik.