Hospitalisasi merupakan masa karena suatu alasan terencana
atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi
dan perawatan sampai dipulangkan kembali ke rumah (Lukimon, 2010).
Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada semua
tingkat usia. Kecemasan dan stress akibat hospitalisasi ini menimbulkan
perasaan tidak nyaman sehingga dibutuhkan proses penyesuaian diri untuk
meminimalkan kecemasan dan stress supaya tidak berkembang menjadi krisis
(Nursalam, 2008).
Kecemasan dan stress yang dialami anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain faktor dari
petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun
keluarga yang mendampingi selama perawatan (Nursalam, 2008). Reaksi kecemasan
ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, support
system yang tersedia dan mekanisme koping seorang anak (Yusuf, 2011).
Pada usia sekolah, sumber stress saat hospitalisasi antara lain akibat
perpisahan, kehilangan kontrol, cedera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasif.
Respon perilaku pada anak usia sekolah adalah regresi, ketergantungan,
perasaan takut, cemas, rasa bersalah serta respon fisiologis (Wong, 2003).
Perawat
sangat berperan untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi. Pasien anak
akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya lingkungan perawatan yang
terapeutik, dan sikap perawat yang penuh perhatian akan mempercepat proses penyembuhan
(Nursalam, 2005). Pemberian intervensi keperawatan ditujukan pada penanganan
masalah fisik, psikologis, sosial dan ketergantungan (spiritual). Masalah
psikis yang penting pada pasien anak yang dirawat dirumah sakit yaitu rasa
cemas dan takut terhadap lingkungan baru. Untuk itu perlu memberitahu kepada
anak mengenai rumah sakit dengan cara orientasi ruangan dan peraturan rumah
sakit. Orientasi ini meliputi pengenalan dengan ruangan, alat-alat,
peraturan-peraturan, petugas, dan perawat yang ada, guna mencegah stress
hospitalisasi (Nursalam, 2008).
Orientasi
merupakan pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan (Depdiknas, 2001).
Orientasi ruangan merupakan hal yang penting yang harus dilaksanakan oleh
perawat kepada pasien dan pendamping untuk menghindari sesuatu yang mencemaskan
dan menakutkan bagi pasien tersebut. Mengorientasikan pasien dan pendamping
tentang rumah sakit, fasilitas, dan peraturan yang berlaku (Nursalam, 2008).
Informasi tentang rumah sakit dibutuhkan pasien dan pendamping untuk dapat
beradaptasi dengan situasi rumah sakit yang berbeda dengan rumah sendiri
(Keliat, 2001).
Penjabaran pedoman orientasi ruangan pada
pasien anak antara lain :
Pasien hospitalisasi hari pertama
dikenalkan pada perawat jaga.
1. Memberikan
orientasi ruangan kepada pasien :
a. Tempat tidur
dan fasilitas lainnya.
b. Cara memanggil
petugas (tombol, bel, lampu, jika ada).
c. Hiburan (Televisi, jika ada).
d. Kamar mandi.
2. Memperkenalkan
teman sekamar.
3. Memberitahukan
adanya tempat bermain.
4. Memberitahukan peraturan rumah sakit : jam
berkunjung, siapa yang boleh bekunjung, jam makan, aturan membawa makan, waktu
istirahat, mandi, dan lain – lain.
5. Melaksanakan
kegiatan rutin: observasi tanda-tanda vital, menimbang berat badan (Nursalam,
2008).
Berdasarkan data WHO tahun 2010 bahwa 3-10% pasien anak yang dirawat di Amerika Serikat
mengalami stress selama hospitalisasi. Sekitar 3 sampai dengan 7 % dari anak usia sekolah yang dirawat di Jerman
juga mengalami hal yang serupa, 5 sampai dengan 10% anak
yang dihospitalisasi di Kanada dan Selandia Baru juga mengalami stress selama
dihospitalisasi.
Data di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa 35 dari 420 anak yang dirawat di
rumah sakit sepanjang tahun 2010 mengalami stress selama hospitalisasi.
Demikian juga menurut Whenny bahwa 1/3
dari anak yang dirawat di berbagai rumah sakit yang ada di Mojokerto tahun 2010
mengalami stress selama menjalani hospitalisasi.
Salah satu bentuk perilaku
maladaptif pasien usia sekolah akibat hospitalisasi adalah perpisahan dengan
orang tua dan teman sebaya. Hal-hal
yang menunjukkan kecemasan akibat perpisahan, serta rasa takut lainnya yaitu
dengan anak merasa kesepian, bosan, menarik diri, depresi, marah, frustasi, dan
bermusuhan. Sedangkan mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu regresi
mengacu pada kecenderungan untuk kembali pada tahap perilaku yang lebih dini dn
lebih primitif (Wong, 2000). Biasanya anak juga menanggapi perawatan di
rumah sakit dengan reaksi menjerit – jerit, mengompol, atau perilaku lain yang
lebih pantas untuk tahap usia yang lebih awal.
Penelitian yang dilakukan oleh
Munawaroh (2003) menyimpulkan bahwa pola perilaku kecemasan karena perpisahan
pada anak selama hospitalisasi pertama menampakkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tahap tahap perkembangan usianya. Respon
perilaku yang ditunjukkan pada saat hospitalisasi pertama hampir semua anak
usia sekolah berperilaku maladaptif.
Respon perilaku maladaptif
pada anak akibat tidak dilakukan orientasi ruangan dapat menghambat pemberian
pelayanan baik perawatan maupun pengobatan (Nursalam 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar