Kamis, 17 Mei 2012

Pengaruh Orientasi Ruangan Terhadap Perilaku Adaptif Pada Anak Usia Sekolah Yang Rawat Inap


Hospitalisasi merupakan masa karena suatu alasan terencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai dipulangkan kembali ke rumah (Lukimon, 2010). Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada semua tingkat usia. Kecemasan dan stress akibat hospitalisasi ini menimbulkan perasaan tidak nyaman sehingga dibutuhkan proses penyesuaian diri untuk meminimalkan kecemasan dan stress supaya tidak berkembang menjadi krisis (Nursalam, 2008).
Kecemasan dan stress yang dialami anak dipengaruhi oleh beberapa faktor  antara lain faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan (Nursalam, 2008). Reaksi kecemasan ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, support system yang tersedia dan mekanisme koping seorang anak (Yusuf, 2011).
Pada usia sekolah, sumber stress saat hospitalisasi antara lain akibat perpisahan, kehilangan kontrol, cedera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasif. Respon perilaku pada anak usia sekolah adalah regresi, ketergantungan, perasaan takut, cemas, rasa bersalah serta respon fisiologis (Wong, 2003).
Perawat sangat berperan untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi. Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh perhatian akan mempercepat proses penyembuhan (Nursalam, 2005). Pemberian intervensi keperawatan ditujukan pada penanganan masalah fisik, psikologis, sosial dan ketergantungan (spiritual). Masalah psikis yang penting pada pasien anak yang dirawat dirumah sakit yaitu rasa cemas dan takut terhadap lingkungan baru. Untuk itu perlu memberitahu kepada anak mengenai rumah sakit dengan cara orientasi ruangan dan peraturan rumah sakit. Orientasi ini meliputi pengenalan dengan ruangan, alat-alat, peraturan-peraturan, petugas, dan perawat yang ada, guna mencegah stress hospitalisasi (Nursalam, 2008).
Orientasi merupakan pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan (Depdiknas, 2001). Orientasi ruangan merupakan hal yang penting yang harus dilaksanakan oleh perawat kepada pasien dan pendamping untuk menghindari sesuatu yang mencemaskan dan menakutkan bagi pasien tersebut. Mengorientasikan pasien dan pendamping tentang rumah sakit, fasilitas, dan peraturan yang berlaku (Nursalam, 2008). Informasi tentang rumah sakit dibutuhkan pasien dan pendamping untuk dapat beradaptasi dengan situasi rumah sakit yang berbeda dengan rumah sendiri (Keliat, 2001).
Penjabaran pedoman orientasi ruangan pada pasien anak antara lain :
Pasien hospitalisasi hari pertama dikenalkan pada perawat jaga.
1. Memberikan orientasi ruangan kepada pasien :
a. Tempat tidur dan fasilitas lainnya.
b. Cara memanggil petugas (tombol, bel, lampu, jika ada).
c. Hiburan (Televisi, jika ada).
d. Kamar mandi.
2. Memperkenalkan teman sekamar.
3. Memberitahukan adanya tempat bermain.
4.  Memberitahukan peraturan rumah sakit : jam berkunjung, siapa yang boleh bekunjung, jam makan, aturan membawa makan, waktu istirahat, mandi, dan lain – lain.
5. Melaksanakan kegiatan rutin: observasi tanda-tanda vital, menimbang berat badan (Nursalam, 2008).
Berdasarkan data WHO tahun 2010 bahwa 3-10% pasien anak yang dirawat di Amerika Serikat mengalami stress selama hospitalisasi. Sekitar 3 sampai dengan 7 % dari anak usia sekolah yang dirawat di Jerman juga mengalami hal yang serupa, 5 sampai dengan 10% anak yang dihospitalisasi di Kanada dan Selandia Baru juga mengalami stress selama dihospitalisasi.
Data di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa 35 dari 420 anak yang dirawat di rumah sakit sepanjang tahun 2010 mengalami stress selama hospitalisasi. Demikian juga menurut Whenny  bahwa 1/3 dari anak yang dirawat di berbagai rumah sakit yang ada di Mojokerto tahun 2010 mengalami stress selama menjalani hospitalisasi.
Salah satu bentuk perilaku maladaptif pasien usia sekolah akibat hospitalisasi adalah perpisahan dengan orang tua dan teman sebaya. Hal-hal yang menunjukkan kecemasan akibat perpisahan, serta rasa takut lainnya yaitu dengan anak merasa kesepian, bosan, menarik diri, depresi, marah, frustasi, dan bermusuhan. Sedangkan mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu regresi mengacu pada kecenderungan untuk kembali pada tahap perilaku yang lebih dini dn lebih primitif (Wong, 2000). Biasanya anak juga menanggapi perawatan di rumah sakit dengan reaksi menjerit – jerit, mengompol, atau perilaku lain yang lebih pantas untuk tahap usia yang lebih awal.
Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2003) menyimpulkan bahwa pola perilaku kecemasan karena perpisahan pada anak selama hospitalisasi pertama menampakkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tahap tahap perkembangan usianya. Respon perilaku yang ditunjukkan pada saat hospitalisasi pertama hampir semua anak usia sekolah berperilaku maladaptif.
Respon perilaku maladaptif pada anak akibat tidak dilakukan orientasi ruangan dapat menghambat pemberian pelayanan baik perawatan maupun pengobatan (Nursalam 2005).

Tidak ada komentar: