1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia
adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran,
persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2008).
Skizofrenia
berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya
retak atau pecah (spilt), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan
demikian skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan
kepribadian (splitting of personality)
(Hawari, 2003).
Skizofrenia
adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir
serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek atau emosi,
kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan
halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi (Direja, 2011).
Berdasarkan
pengertian skizofrenia tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak sebagai bentuk dari
psikosa fungsional, menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan,
perilaku yang aneh dan terganggu serta disharmoni (keretakan kepribadian)
antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga
timbul inkoherensi.
2. Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia
tidak disebabkan oleh penyebab yang tunggal, tetapi dari berbagai faktor.
Menurut Arif (2006), adapun etiologi dari skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Somatogenesis
Pendekatan
somatogenesis berusahan memahami kemunculan skizofrenia sebagai akibat dari
berbagai proses biologis dalam tubuh. Beberapa teori somatogenesis tentang
etiologi skizofrenia, yaitu:
1)
Faktor-faktor genetik (keturunan)
Gen yang
diwarisi seseorang, sangat kuat mempengaruhi risiko seseorang mengalami skizofrenia.
Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang
dengan pasien skizofrenia, makin besar resikonya untuk mengalami penyakit
tersebut.
2)
Biochemistry
(ketidakseimbangan kimiawi otak)
Skizofrenia
mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak
yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli
mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap domapine. Banyak ahli
yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine
yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepineprhrine tampaknya juga memainkan peranan.
3)
Neuroanatomy
(abnormalitas struktur otak)
Berbagai teknik
imaging, seperti Magnetic Resonance
Imaging (MRI) telah membantu para ilmuwan untuk menemukan abnormalitas
struktural spesifik pada ota pasien skizofrenia. Misalnya, pasien skizofrenia
yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga
memiliki volume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Pasien
skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak.
Ada juga kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus,
hippocampus dan superior temporal
gyrus.
b. Psikogenesis
Psikogenesis, pemahaman kemunculan
skizofrenia menurut pendekatan psikologis (khususnya psikodinamik), yaitu:
1)
Pandangan Sigmund
Freud
Orang yang
mengalami skizofrenia terfiksasi di fase early
oral. Fase ini kepribadian seseorang sedang berada dalam tahapan primary narcissism dengan ciri belum
mengenal object dan adanya omnipotence illusion. Dari primary narcissisme ia semestinya
beralih ke object relations, dimana
ia mengenal object dan omnipotence illusion-nya mengalami disillusionment. Perpisahan ini dapat
terwujud dengan baik bilamana secara biologis ia berkembang dengan normal dan
bilamana ia mendapatkan pengalaman dan pengasuhan yang memadai.
2)
Pandangan Harry Stack Sullivan
Harry Stack
Sullivan meyakini bahwa skizofrenia berasal dari kesul;itasn-kesulitan
interpersonal di masa awal kehidupan (terutama relasi orang tua dengan anak),
dan dia mengkonseptualisasikan treatment
sebagai proses interpersonal jangka panjang yang mencoba untuk mengatasi
masalah-masalah awal itu.
3)
Pandangan aliran Ego Psychology
Psikolog ego
awal mengamati bahwa kegagalan ego
boundary adalah defisit utama pada pasien skizofrenia. Federn (dalam Arif,
2006) mengatakan bahwa pasien skizofrenia tidak memiliki batasan antara yang
didalam dan yang di luar karena ego
boundary mereka tidak lagi memadai.
4)
British
Object Relation Theory
Kondisi
keterpisahan dari relasi dengan orang lain yang dialami oleh pasien skizofrenia
berakar pada gangguan dalam relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi (yang
kelak menjadi pasien skizofrenia).
3. Tanda dan gejala
Menurut Hawari
(2003), gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Selengkapnya seperti pada uraian berikut:
a. Gejala Positif Skizofrenia
Gejala positif
merupakan gejala yang mencolok, mudah dikenali,
menganggu keluarga dan masyarakat serta merupakan salah satu motivasi
keluarga untuk membawa klien berobat (Hawari, 2003). Gejala-gejala positif yang
diperlihatkan pada klien skizofrenia yaitu:
1)
Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang
tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif
bahwa keyakinan itu tidak rasional, namun klien tetap meyakini kebenarannya.
2)
Halusinasi, yaitu pengalaman pasca indera tanpa
rangsangan (stimulus). Misalnya klien mendengar suara-suara atau
bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikian
itu.
3)
Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari
isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur
pikirannya.
4)
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir,
agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
5)
Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba
mampu, serba hebat dan sejenisnya.
6)
Pikiran penuh dengan kecuringaan atau
seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.
7)
Menyimpan rasa permusuhan.
b. Gejala Negatif Skizofrenia
Gejala negatif
skizofrenia merupakan gejala yang tersamar dan tidak menggangu keluarga ataupun
masyarakat, oleh karenanya pihak keluarga seringkali terlambat membawa klien
berobat (Hawari, 2003). Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada klien
skizofrenia yaitu:
1)
Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat
terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2)
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain, suka melamun (day
dreaming).
3)
Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak
bicara, pendiam.
4)
Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan
sosial.
5)
Sulit dalam berpikir abstrak.
6)
Pola pikir stereotip.
4. Pengobatan Skizofrenia
Pengobatan
harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan
lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental. Biarpun pasien mungkin tidak
sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, pasien dapat
ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah ataupun di
luar serta dapat membesarkan dan menyekolahkan anaknya (Maramis, 2009). Adapun
jenis pengobatan pada pasein skizofrenia (Maramis, 2009), adalah sebagai
berikut:
a.
Farmakoterapi
Indikasi
pemberian obat psikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala
aktif dan mencegah kekambuhan.
Strategi
pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase akut
biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh)
yang perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan disini adalah mengurangi gejala
psikotik yang parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang
dalam waktu 2-3 minggu. Biarpun tetap masih ada waham dan halusinasi, pasien
tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta
dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja.
Setelah 4-8
minggu, pasien masuk tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala sedikit banyak
sudah teratasi, tetapi risiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan
terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereda, maka dosis
dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama
kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah
gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun.
Setelah 6 bulan,
pasien fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi dalam jangka waktu yang
tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan
pasien. Senantiasa harus waspada terhadap efek samping obat.
Strategi
rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat memberikan
perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi psikososial
pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam
dua tahun pertama dari panykit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi
dosis ditetapkan secara individual.
Pemilihan obat
lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respons pasien pada pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa kondisi khusus yang perlu diperhatikan, misalnya
wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini mempunyai data
keamanan yang paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping
ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipikal, demikian pula pada
pasien yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif menonjol.
Untuk pasien
yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus
diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping, karena pengalaman yang
buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatanberobatan (compliance) atau ketidaksetiaberobatan (adherence). Dianjurkan menggunakan antipsikotik atipikal atau antipsikotik
tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah.
b.
Terapi elektro-konvulsi (TEK)
Terapi
elektro-konvulsi (TEK) baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor,
terhadap skizofrenia simplex efeknya mengecewakan, bila gejala hanya ringan
lantas diberi TEK, kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
c.
Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi
dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang diharapkan, bahkan ada yang
berpendapat tidak boleh dilakukan pada pasien dengan skizofrenia karena justru
dapat menambah isolasi dan autisme. Psikoterapi suportif individual atau
kelompok dapat membantu pasien serta bimbingan yang praktis dengan maksud
mengembalikan pasien ke masyarakat. Teknik terapi perilaku kognitif (Cognitive Behaviour Therapy) dicoba pada
psien skizofrenia dengan hasil yang menjanjikan.
Terapi kerja
adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
pasien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak mengasingkan
diri lagi, karena bila pasien menarik diri dan membentuk kebiasaan yang kurang
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar