Rabu, 23 Januari 2013

Skizofrenia



1.    Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2008).
Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (spilt), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi (Direja, 2011).
Berdasarkan pengertian skizofrenia tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak sebagai bentuk dari psikosa fungsional, menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu serta disharmoni (keretakan kepribadian) antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi.

2.    Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab yang tunggal, tetapi dari berbagai faktor. Menurut Arif (2006), adapun etiologi dari skizofrenia adalah sebagai berikut:
a.    Somatogenesis
Pendekatan somatogenesis berusahan memahami kemunculan skizofrenia sebagai akibat dari berbagai proses biologis dalam tubuh. Beberapa teori somatogenesis tentang etiologi skizofrenia, yaitu:
1)   Faktor-faktor genetik (keturunan)
Gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat mempengaruhi risiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang dengan pasien skizofrenia, makin besar resikonya untuk mengalami penyakit tersebut.
2)   Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak)
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap domapine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepineprhrine tampaknya juga memainkan peranan.
3)   Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak)
Berbagai teknik imaging, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah membantu para ilmuwan untuk menemukan abnormalitas struktural spesifik pada ota pasien skizofrenia. Misalnya, pasien skizofrenia yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki volume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Pasien skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus dan superior temporal gyrus.
b.   Psikogenesis
Psikogenesis, pemahaman kemunculan skizofrenia menurut pendekatan psikologis (khususnya psikodinamik), yaitu:
1)   Pandangan Sigmund Freud
Orang yang mengalami skizofrenia terfiksasi di fase early oral. Fase ini kepribadian seseorang sedang berada dalam tahapan primary narcissism dengan ciri belum mengenal object dan adanya omnipotence illusion. Dari primary narcissisme ia semestinya beralih ke object relations, dimana ia mengenal object dan omnipotence illusion-nya mengalami disillusionment. Perpisahan ini dapat terwujud dengan baik bilamana secara biologis ia berkembang dengan normal dan bilamana ia mendapatkan pengalaman dan pengasuhan yang memadai.
2)   Pandangan Harry Stack Sullivan
Harry Stack Sullivan meyakini bahwa skizofrenia berasal dari kesul;itasn-kesulitan interpersonal di masa awal kehidupan (terutama relasi orang tua dengan anak), dan dia mengkonseptualisasikan treatment sebagai proses interpersonal jangka panjang yang mencoba untuk mengatasi masalah-masalah awal itu.
3)   Pandangan aliran Ego Psychology
Psikolog ego awal mengamati bahwa kegagalan ego boundary adalah defisit utama pada pasien skizofrenia. Federn (dalam Arif, 2006) mengatakan bahwa pasien skizofrenia tidak memiliki batasan antara yang didalam dan yang di luar karena ego boundary mereka tidak lagi memadai.
4)   British Object Relation Theory
Kondisi keterpisahan dari relasi dengan orang lain yang dialami oleh pasien skizofrenia berakar pada gangguan dalam relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi (yang kelak menjadi pasien skizofrenia).
3.    Tanda dan gejala
Menurut Hawari (2003), gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif. Selengkapnya seperti pada uraian berikut:
a. Gejala Positif Skizofrenia
Gejala positif merupakan gejala yang mencolok, mudah dikenali,  menganggu keluarga dan masyarakat serta merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa klien berobat (Hawari, 2003). Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada klien skizofrenia yaitu:
1)        Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan itu tidak rasional, namun klien tetap meyakini kebenarannya.
2)        Halusinasi, yaitu pengalaman pasca indera tanpa rangsangan (stimulus). Misalnya klien mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikian itu.
3)        Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
4)        Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
5)        Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.
6)        Pikiran penuh dengan kecuringaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.
7)        Menyimpan rasa permusuhan.

b. Gejala Negatif Skizofrenia
Gejala negatif skizofrenia merupakan gejala yang tersamar dan tidak menggangu keluarga ataupun masyarakat, oleh karenanya pihak keluarga seringkali terlambat membawa klien berobat (Hawari, 2003). Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada klien skizofrenia yaitu:
1)        Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2)        Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
3)        Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4)        Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5)        Sulit dalam berpikir abstrak.
6)        Pola pikir stereotip.


4.    Pengobatan Skizofrenia
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental. Biarpun pasien mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, pasien dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah ataupun di luar serta dapat membesarkan dan menyekolahkan anaknya (Maramis, 2009). Adapun jenis pengobatan pada pasein skizofrenia (Maramis, 2009), adalah sebagai berikut:
a.    Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat psikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan.
Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan disini adalah mengurangi gejala psikotik yang parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Biarpun tetap masih ada waham dan halusinasi, pasien tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja.
Setelah 4-8 minggu, pasien masuk tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi risiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereda, maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun.
Setelah 6 bulan, pasien fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien. Senantiasa harus waspada terhadap efek samping obat.
Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi psikososial pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam dua tahun pertama dari panykit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan secara individual.
Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respons pasien pada pengobatan sebelumnya. Ada beberapa kondisi khusus yang perlu diperhatikan, misalnya wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini mempunyai data keamanan yang paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipikal, demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif menonjol.
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatanberobatan (compliance) atau ketidaksetiaberobatan (adherence). Dianjurkan menggunakan antipsikotik atipikal atau antipsikotik tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah.
b.    Terapi elektro-konvulsi (TEK)
Terapi elektro-konvulsi (TEK) baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor, terhadap skizofrenia simplex efeknya mengecewakan, bila gejala hanya ringan lantas diberi TEK, kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
c.    Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang diharapkan, bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada pasien dengan skizofrenia karena justru dapat menambah isolasi dan autisme. Psikoterapi suportif individual atau kelompok dapat membantu pasien serta bimbingan yang praktis dengan maksud mengembalikan pasien ke masyarakat. Teknik terapi perilaku kognitif (Cognitive Behaviour Therapy) dicoba pada psien skizofrenia dengan hasil yang menjanjikan.
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain, pasien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak mengasingkan diri lagi, karena bila pasien menarik diri dan membentuk kebiasaan yang kurang baik.

Tidak ada komentar: