Kamis, 29 Juli 2010

ASI dan Rawat Gabung

PEMBERIAN ASI PADA BAYI YANG MENJALANI RAWAT GABUNG

       Sesuai program pemerintah, peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dapat dicapai antara lain dengan peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI). Hal ini meyebabkan posisi rumah sakit dengan kamar bersalin menjadi sangat vital, karena di sinilah pertama kali ibu mengadakan kontak dengan bayinya. Setelah bayi lahir dibutuhkan kontak kembali di kamar bersalin, baik untuk kepentingan nutrisi maupun kepentingan lainnya, sehingga diperlukan rawat gabung ibu dan bayinya (Sakura, 2009).
       Rawat gabung adalah suatu cara perawatan di mana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh seharinya. Pada saat rawat gabung bayi ditempatkan bersama ibunya dalam suatu ruangan sedemikian rupa sehingga ibu post partum dapat melihat dan menjangkaunya kapan saja bayi atau ibu membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam boks di samping tempat tidur ibu post partum, yang penting dari rawat gabung adalah ibu post partum bisa melihat dan mengawasi bayinya, apakah bayinya menangis karena lapar, kencing, digigit nyamuk dan sebagainya. Rawat gabung juga bertujuan agar ibu post partum dapat menyusui bayinya sedini mungkin, kapan saja dibutuhkan yang akan memberikan kepuasan pada ibu bahwa ia dapat berfungsi sebagaimana seorang ibu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya (Sakura, 2009).
        Rawat gabung pada ibu post partum merupakan suatu permulaan yang menunjang keberhasilan menyusui. Proses terjadinya pengeluaran ASI dimulai atau dirangsang oleh isapan mulut bayi pada putting susu ibu. Gerakan tersebut merangsang kelenjar pituitary anterior untuk memproduksi sejumlah prolaktin, hormon utama yang mengandalkan pengeluaran ASI. Proses pengeluaran ASI juga tergantung pada let down reflex, dimana hisapan putting dapat merangsang kelenjar pituitary posterior untuk menghasilkan hormon oksitosin, yang dapat merangsang serabut otot halus di dalam dinding saluran susu agar membiarkan susu dapat mengalir secara lancar (Siregar, 2004). 
        ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi. ASI terdiri dari berbagai komponen gizi dan non gizi. Komposisi ASI tidak sama selama periode menyusui, pada akhir menyusui kadar lemak 4-5 kali dan kadar protein 1,5 kali lebih tinggi daripada awal menyusui (Creasoft, 2008). Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia sekitar empat bulan. Setelah itu ASI berfungsi sebagai sumber protein, vitamin dan mineral utama untuk bayi yang mendapat makakanan tambahan yang tertumpu pada beras. Terjadinya masalah gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang kurang juga karena ASI banyak diganti dengan susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan (Siregar, 2004).
        ASI merupakan makanan yang bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan komposisi. Disamping itu ASI mudah dicerna oleh bayi dan langsung terserap. Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang melahirkan ternyata mampu menghasilkan air susu dalam jumlah yang cukup untuk keperluan bayinya secara penuh tanpa makanan tambahan. Selama enam bulan pertama, bahkan ibu yang gizinya kurang baikpun sering dapat menghasilkan ASI cukup tanpa makanan tambahan selama tiga bulan pertama. ASI sebagai makanan yang terbaik bagi bayi tidak perlu diragukan lagi, namun akhir-akhir ini sangat disayangkan banyak diantara ibu-ibu menyusui melupakan keuntungan menyusui. Selama ini dengan membiarkan bayi terbiasa menyusu dari alat pengganti, padahal hanya sedikit bayi yang sebenarnya menggunakan susu botol atau susu formula (Siregar, 2004).
        Menyusui memberi anak awal terbaik dalam hidupnya. Diperkirakan lebih dari satu juta anak meninggal tiap tahun akibat diare, penyakit saluran nafas dan infeksi lainnya karena mereka tidak disusui secara memadai. Menyusui juga membantu melindungi kesehatan ibu (Depkes RI, 2007).
        Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan menyusui ekslusif (exlucive breastfeeding) sejak lahir selama 6 bulan pertama hidup anak, dan tetap disusui bersama pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup samapi usia 2 tahun atau lebih. Namun sebagian besar ibu di banyak negara mulai memberi bayi makanan dan minuman buatan sebelum 6 bulan dan banyak yang berhenti menyusui jauh sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes RI, 2007). Data dari survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 1991 bahwa ibu, yang memberikan ASI pada bayi 0-3 bulan yaitu 47% diperkotaan dan 55% dipedesaan (Depkes, dalam Siregar 2004). Sedangkan data dari SKDI tahun 2003, pemberian ASI ekslusif 0-4 bulan, sebanyak 55,1%, pemberian ASI ekslusif 0-6 bulan 42,4%, pemberian ASI dengan botol 32,4% (Suradi, 2008).
        Pemberian ASI pada bayi yang menjalani rawat gabung merupakan suatu langkah awal yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, sehingga menjadi keharusan untuk sesegera mungkin memberikan ASI.

DAFTAR PUSTAKA
Creasoft, 2008, Produksi ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya, (onlien), available : http://creasoft.wordpress.com/2008/05/08/produksi-asi-dan-faktor-yang-mempengaruhinya/ (25 Februari 2010).

Depkes RI., 2007, Pelatihan Konseling Meyusui, Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.

Roesli, U., 2000, Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta : Trubus Agriwidya.

Sakura, S.A.A., 2009, Kamar Bersalin dan Rawat Gabung, (online), available : http://jangan-sakit.blogspot.com/2009/11/kamar-bersalin-dan-rawat-gabung.html, (30 Januari 2010).
 

Siregar, M.A., 2004, Pemberian ASI Ekslusif dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (online), available : http://library.usu.ac.id/dowload/fkm/fkm-arifin4.pdf, (30 Januari 2010).

Suradi, R., 2008, Manfaat ASI dan Menyusui, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

Tidak ada komentar: