Apendisitis adalah peradangan apendiks yang relatif sering dijumpai yang dapat timbul tanpa sebab yang jelas atau timbul setelah obstruksi apendiks oleh tinja atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya. Peradangan menyebabkan apendiks membengkak dan nyeri yang dapat menimbulkan gangren karena suplai darah terganggu (Corwin, 2001).
Apendisitis merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, serta penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka, pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita, dan remaja lebih sering pada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), penatalaksanaan apendiksitis diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dengan anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah itu bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 2002).
Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan tubuh. Untuk menjaga homeostasis, tubuh melakukan mekanisme untuk segera melakukan pemulihan pada jaringan tubuh yang mengalami perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien (Fields, dalam Ani, 2010). Pada proses operasi digunakan anestesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar, ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan (Wall & Jones, dalam Ani, 2010).
Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu (Potter & Perry, 2006). Nyeri yang dirasakan pada pasien post operasi apendiks akan memperparah keadaan pasien dan bahkan menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi pada apendiks.
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Bare, 2002).
Untuk mencegah komplikasi pada pasien post operasi apendiks, pasien mesti dilakukan mobilisasi dini sesuai dengan tahapanya. Oleh karena setelah mengalami apendiktomi, pasien disarankan tidak malas untuk bergerak pasca operasi, pasien harus mobilisasi cepat. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-hati.
Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian (Carpenito, dalam Fitriyahsari, 2009). Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation. Dengan bergerak, otot-otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian penderita merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan dan mempercepat kesembuhan (Mochtar, dalam Fitriyahsari, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar