Gangguan
jiwa adalah sindrom psikologi yang terjadi pada individu dan dihubungkan dengan
adanya distres seperti respon negatif terhadap stimulus atau perasaan tertekan,
disability (ketidakmampuan) seperti gangguan
pada satu atau beberapa fungsi dan meningkatnya risiko untuk mengalami
penderitaan, kematian atau kehilangan kebebasan (Maslin, 2001). Towsend (2005),
menyatakan bahwa gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stressor dari
lingkungan internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan
perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat dan
mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan/atau fisik.
Gangguan
jiwa berat di Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun 2007, didapatkan sebesar 4,6 per 1.000 orang
penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat (Departemen Kesehatan RI, 2008),
angka rasio ini melebihi batas yang ditetapkan WHO, yang hanya 1-3 per 1.000
orang penduduk. Marsoeki (2008), menyatakan prevalensi jumlah penderita
gangguan jiwa berat rata-rata mencapai 3 jiwa per 1.000 orang dan gangguan jiwa
ringan tidak kurang dari 179 jiwa per 1.000 orang di Indonesia. Prevalensi
gangguan jiwa terus bertambah seiring dengan himpitan dan beban hidup
masyarakat Indonesia yang semakin berat, serta perlu penangganan yang segera
dan komprehensif.
Gubernur
Bali menyatakan dalam sambutan pembukaan Konferensi Nasional Keperawatan Jiwa
VII, di Sanur tanggal 11-13 November 2010 disebutkan bahwa dari 3.891.428
orang, penduduk Bali didapatkan prevalensi gangguan jiwa, ansietas dan depresi
sebesar 9,8% (381.359 orang), prevalensi gangguan jiwa 0,3% (11.674 orang) dan
kasus bunuh diri yang terjadi di Bali cukup tinggi. Angka kasus tersebut
meningkat dibanding kasus pada tahun
2008, sekitar ±180 kasus dan tahun 2009, sekitar ±190 kasus. Hal tersebut
menunjukkan angka gangguan jiwa di Bali yang cukup tinggi dan angka kedaruratan
psikiatri (kasus bunuh diri) juga cukup tinggi.
Kemarahan
yang merupakan awal dari terjadinya kedaruratan psikiatri, diawali oleh adanya
stressor yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti
penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal
dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran,
bencana dan sebagainya, hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem
individu (disruption and loss) dan
yang terpenting adalah bagaimana seorang individu memaknai setiap kejadian yang
menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal
meaning). Perilaku kemarahan perlu dicegah jangan sampai
menjadi maladaptif, oleh karena perilaku yang maladaptif akan menimbulkan
perilaku kekerasan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Rentang respon kemarahan dari adaptif menuju maladaptif, yaitu pernyataan
asertif, frustasi, pasif, agresif dan ngamuk (Yosep, 2009). Kemarahan terjadi
ketika individu mengalami frustasi, terluka, atau takut. Apabila ditangani
dengan benar dan diungkapkan secara asertif, kemarahan dapat menjadi kekuatan
positif yang membantu individu mengatasi konflik, menyelesaikan masalah, dan
membuat keputusan. Kemarahan memberi energi kepada tubuh secara fisik untuk
melakukan pertahanan diri, ketika dibutuhkan, melalui pengaktifan mekanisme
respons “fight-or-flight” pada sistem
saraf simpatis. Apabila diungkapkan secara tidak tepat atau disuspresi,
kemarahan dapat menyebabkan masalah fisik atau emosional atau mengganggu
hubungan (Videbeck, 2008).
Tindakan
keperawatan pada klien dengan perilaku kemarahan difokuskan pada aspek fisik,
intelektual, emosional dan sosio spiritual. Stuart dan Laraia (2005), menyatakan
manajemen perilaku kemarahan terdiri dari 3 stretegi, diantaranya (1) stretegi
pencegahan antara lain melalui self
awereness perawat, pendidikan kesehatan dan latihan asertif, (2) stretegi
antisipasi, terdiri dari tehnik komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan
pemberian obat antipsikotik, (3) strategi pengekangan terdiri dari tindakan
menajemen krisis, pengikatan dan pembatasan gerak. Edy (2007), menyatakan bahwa
salah satu alternatif terapi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan atau
menghapus kemarahan yang terpendam masa lalu dan menanamkan nilai-nilai
kesabaran, adalah terapi menggambar. Terapi menggambar merupakan aktivitas yang
penuh stimulasi terhadap proses perkembangan dan sebagai bentuk ekspresi,
menggambar juga dapat membantu menyalurkan bentuk-bentuk emosi yang dirasakan
melalui gambar. Disamping itu terapi menggambar juga bertujuan menghapus emosi
marah masa lalu yang terpendam dalam memori pikiran.
Hasil
penelitian yang dilakukan Nia (2010), menunjukkan bahwa ada pengaruh menggambar
dengan penyaluran bentuk-bentuk emosi perkembangan anak, sedangkan menurut Edy
(2007), terapi menggambar efektif untuk menghapus kemarahan terpendam dan
menanamkan benih kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar