Sabtu, 02 Juni 2012

Pengaruh Terapi Menggambar Terhadap Perilaku Kemarahan Klien Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa adalah sindrom psikologi yang terjadi pada individu dan dihubungkan dengan adanya distres seperti respon negatif terhadap stimulus atau perasaan tertekan, disability (ketidakmampuan) seperti gangguan pada satu atau beberapa fungsi dan meningkatnya risiko untuk mengalami penderitaan, kematian atau kehilangan kebebasan (Maslin, 2001). Towsend (2005), menyatakan bahwa gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stressor dari lingkungan internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan/atau fisik.
            Gangguan jiwa berat di Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun 2007, didapatkan sebesar 4,6 per 1.000 orang penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat (Departemen Kesehatan RI, 2008), angka rasio ini melebihi batas yang ditetapkan WHO, yang hanya 1-3 per 1.000 orang penduduk. Marsoeki (2008), menyatakan prevalensi jumlah penderita gangguan jiwa berat rata-rata mencapai 3 jiwa per 1.000 orang dan gangguan jiwa ringan tidak kurang dari 179 jiwa per 1.000 orang di Indonesia. Prevalensi gangguan jiwa terus bertambah seiring dengan himpitan dan beban hidup masyarakat Indonesia yang semakin berat, serta perlu penangganan yang segera dan komprehensif.
Gubernur Bali menyatakan dalam sambutan pembukaan Konferensi Nasional Keperawatan Jiwa VII, di Sanur tanggal 11-13 November 2010 disebutkan bahwa dari 3.891.428 orang, penduduk Bali didapatkan prevalensi gangguan jiwa, ansietas dan depresi sebesar 9,8% (381.359 orang), prevalensi gangguan jiwa 0,3% (11.674 orang) dan kasus bunuh diri yang terjadi di Bali cukup tinggi. Angka kasus tersebut meningkat dibanding kasus  pada tahun 2008, sekitar ±180 kasus dan tahun 2009, sekitar ±190 kasus. Hal tersebut menunjukkan angka gangguan jiwa di Bali yang cukup tinggi dan angka kedaruratan psikiatri (kasus bunuh diri) juga cukup tinggi.
            Kemarahan yang merupakan awal dari terjadinya kedaruratan psikiatri, diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya, hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (disruption and loss) dan yang terpenting adalah bagaimana seorang individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal meaning). Perilaku kemarahan perlu dicegah jangan sampai menjadi maladaptif, oleh karena perilaku yang maladaptif akan menimbulkan perilaku kekerasan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Rentang respon kemarahan dari adaptif menuju maladaptif, yaitu pernyataan asertif, frustasi, pasif, agresif dan ngamuk (Yosep, 2009). Kemarahan terjadi ketika individu mengalami frustasi, terluka, atau takut. Apabila ditangani dengan benar dan diungkapkan secara asertif, kemarahan dapat menjadi kekuatan positif yang membantu individu mengatasi konflik, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan. Kemarahan memberi energi kepada tubuh secara fisik untuk melakukan pertahanan diri, ketika dibutuhkan, melalui pengaktifan mekanisme respons “fight-or-flight” pada sistem saraf simpatis. Apabila diungkapkan secara tidak tepat atau disuspresi, kemarahan dapat menyebabkan masalah fisik atau emosional atau mengganggu hubungan (Videbeck, 2008).
            Tindakan keperawatan pada klien dengan perilaku kemarahan difokuskan pada aspek fisik, intelektual, emosional dan sosio spiritual. Stuart dan Laraia (2005), menyatakan manajemen perilaku kemarahan terdiri dari 3 stretegi, diantaranya (1) stretegi pencegahan antara lain melalui self awereness perawat, pendidikan kesehatan dan latihan asertif, (2) stretegi antisipasi, terdiri dari tehnik komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan pemberian obat antipsikotik, (3) strategi pengekangan terdiri dari tindakan menajemen krisis, pengikatan dan pembatasan gerak. Edy (2007), menyatakan bahwa salah satu alternatif terapi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan atau menghapus kemarahan yang terpendam masa lalu dan menanamkan nilai-nilai kesabaran, adalah terapi menggambar. Terapi menggambar merupakan aktivitas yang penuh stimulasi terhadap proses perkembangan dan sebagai bentuk ekspresi, menggambar juga dapat membantu menyalurkan bentuk-bentuk emosi yang dirasakan melalui gambar. Disamping itu terapi menggambar juga bertujuan menghapus emosi marah masa lalu yang terpendam dalam memori pikiran.
Hasil penelitian yang dilakukan Nia (2010), menunjukkan bahwa ada pengaruh menggambar dengan penyaluran bentuk-bentuk emosi perkembangan anak, sedangkan menurut Edy (2007), terapi menggambar efektif untuk menghapus kemarahan terpendam dan menanamkan benih kesabaran.

Tidak ada komentar: