Indikator untuk mengukur derajat kesehatan adalah angka
kesakitan dan kematian ibu. Faktor yang menyebabkan kematian ibu salah satunya
adalah akibat kurangnya penanganan pada ibu hamil terutama yang disertai
gangguan yang mengancam kesehatan ibu maupun janin sehingga perlu adanya
penanganan yang tepat dan cepat dalam upaya menurunkan angka kematian ibu serta
peningkatkan derajat kesehatan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan derajat kesehatan ibu guna mencapai target Millenium Development Goals (MDG’s) (Sedyaningsih, 2011).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia tahun 2007, sebesar
228/100.000 kelahiran hidup, dimana masih jauh dari target MDG’s, sebesar
102/100.000 kelahiran hidup (Sedyaningsih, 2011). Pada tahun 2010, cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan telah mencapai angka diatas 80% dan terjadi peningkatan yang
bermakna sejak tahun 1990. Cakupan persalinan yang tinggi dan yang memenuhi
standar persalinan merupakan indikator dari angka kematian ibu (Sedyaningsih,
2011). Untuk mengurangi berbagai komplikasi persalinan dan mengurangi kematian,
maka berbagai upaya dilakukan untuk meringankan proses persalinan termasuk
dengan tindakan sectio caesarea.
Menurut Sarmana (2009), hasil laporan Depatemen Kesehatan
Amerika, sebanyak 25% dari angka kelahiran yang tercatat pada tahun itu di
seluruh Amerika merupakan persalinan section
caesarea. Di Indonesia angka kejadian sectio
caesarea juga terus meningkat baik di rumah sakit pendidikan maupun swasta,
hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangukusumo Jakarta tahun
1999-2000, menyebutkan bahwa dari persalinan sebanyak 404 per bulan didapatkan
30% dengan persalinan sectio caerasea,
sedangkan di Bali menurut hasil penelitian yang dilakukan Karkata (1995, dalam
Sarmana, 2009), melaporkan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali
angka sectio caesar sebesar 8,06%.
Tindakan operasi sectio caesarea
menjadi pilihan bagi ibu-ibu hamil didaerah perkotaan, disebabkan adanya rasa
sakit yang ditimbulkan saat melahirkan dan untuk mengurangi rasa sakit tersebut
maka dipilihlah tindakan operasi, tidak jarang tindakan sectio caesarea atas permintaan sendiri oleh ibu semakin meningkat,
meskipun secara medis tidak ada indikasi.
Pada persalinan, lamanya durasi pengeluaran
bayi dapat dipengaruhi oleh rasa sakit yang dialami ibu akibat faktor fisik dan
faktor psikologis. Rasa sakit akibat faktor fisik disebabkan oleh proses
peregangan dan pelebaran mulut rahim yang terjadi ketika otot-otot rahim
menegang selama kontraksi untuk mendorong bayi keluar (Danuatmaja dan
Meiliasari, 2004). Selain disebabkan oleh faktor fisik,
nyeri dapat juga disebabkan oeh faktor psikologis seperti rasa cemas dan rasa
takut yang biasanya dialami oleh ibu primigravida yang belum memiliki pengalaman
melahirkan maupun pada ibu
multigravida yang sudah mempunyai pengalaman melahirkan.
Kecemasan dan rasa takut menyebabkan peningkatan tegangan otot dan gangguan
aliran darah menuju otak dan otot selama proses persalinan. Hal tersebut
menyebabakan tegangan pada otot pelvis, kontraksi uterus terganggu (Yuliatun, 2008).
Nyeri persalinan yang tidak di
tangani secara adekuat menyebabkan ketidaknyamanan ibu dan akan mempengaruhi
proses persalinan, karena
manyebabkan ibu mengejan tanpa dapat kontrol.
Ketidaknyamanan akan lebih dirasakan pada primigravida (wanita yang baru
pertama kali melahirkan),
karena
pada primigravida nyeri tersebut merupakan suatu kesengsaraan yang lebih, dan
pengalaman pertama ibu sehingga
belum tahu bagaimana cara menanggulangi nyeri dengan cepat (Cohen, 1991).
Menurut Wiknjosastro, dkk
(2005)
menyatakan bahwa kebebasan dari rasa takut dan cemas dapat memperlancar
persalinan. Terdapat metode farmakologi dan nonfarmakologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi hal
tersebut. Metode farmakologi yang dapat digunakan seperti pemberian obat-obatan
analgesia dapat mengurangi bahkan menghilangkan rasa sakit, namun dapat berefek
samping terhadap kemajuan persalinan. Ibu dapat kehilangan reflex mengedan
(Bobak dkk, 2005). Selain itu, ibu
mungkin mengalami kesulitan untuk melahirkan bayinya karena hanya mengandalkan
otot perut dan mendorongnya saat kontraksi (Danuatmaja dan Meiliasari, 2004).
Saat ini melahirkan pervaginam dengan metode nonfarmakologi
telah berkembang cukup pesat dengan tujuan memberi rasa nyaman, mengurangi nyeri
mengurangi perasaan cemas, dan menegangkan bahkan mempersingkat persalinan.
Beberapa metode nonfarmakologi yang dapat dipergunakan antara lain hypnobirthing, metode Lamaze, pijat aromaterapi, serta water birth (Danuatmaja dan Meiliasari,
2004; Yuliatum, 2008).
Water birth
merupakan salah satu metode nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk
menciptakan kenyamanan dan relaksasi selama persalinan (Lowdermik dan Perry,
2006). Water birth merupakan metode
alaternatif persalinan pervaginam, dimana ibu hamil aterm tanpa komplikasi
bersalin di dalam kolam berisi air hangat dengan suhu antara 340 –
370 C. Suhu tersebut disesuaikan dengan suhu di dalam rahim dengan
tujuan mengurangi rasa nyeri kontraksi dan memberi rasa nyaman (Bidan Kita, 2009). Selain itu, manfaat water birth dapat meningkatkan elastisitas vagina dan perineum (Suririnah, 2008; Harper, 2006),
serta memperlebar panggul ibu sehingga prsalinan menjadi lancar dan mudah
(Putri, 2010).
Sejarah perkembangan water birth pertama ditemukan pada suatu desa di Perancis tahun
1980, dimana terjadi pengurangan distosia
(yang tidak mengalami kemajuan dalam proses persalinan) akan menjadi lebih
progresif dengan menggunakan metode persalinan water birth, dimana bayi akan lahir lebih mudah. Pada tahun 1985, The Family Birthing di Upland,
California Selatan menyarankan wanita untuk bersalin dan melahirkan di air.
Pada tahun 1991, Manadnock Community
Hospital di Peterborough, New Hampshire menjadi tuan rumah sakit pertama yang
membuat protokol water birth. Pada
tahun 2005, terdapat lebih dari 300 rumah sakit di Amerika Serikat telah
mengadopsi protokol water birth dan
lebih dari ¾ dari seluruh rumah sakit di Inggris telah menyediakan water birth. Di Indonesia water birth masih baru dan mulai populer
ketika Harlizon pada tahun 2006 melahirkan dengan metode ini, di San Marie Family Healthcare, Jakarta
ditangani oleh Samsudin dan Pringgadini. Di Bali telah ada sejak tahun 2003,
Robin Lim dari Klinik Yayasan Bumi Sehat, Desa Nyuh Kuning, Ubud Bali telah
menanggani lebih dari 400 kasus water
birth per tahun. Sementara Rumah Sakit Umum di Bali yang pertama kali
menyediakan fasilitas water birth
adalah Rumah Sakit Umum Harapan Bunda-Maternity
Hospital, Renon Denpasar-Bali (Bayunigrat, 2009). Water birth sendiri di instansi pemerintah belum begitu populer dan
belum mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga belum ada satupun rumah sakit
pemerintah yang melakukan persalinan dengan cara water birth.
Setiap tahunnya jumlah ibu yang melahirkan
dengan metode persalinan water birth semakin
bertambah. Hal ini karena ibu telah merasakan beberapa manfaat persalinan water birth. Para pakar kesehatan di
bidang ginekologi mengakui bahwa water
birth memiliki kelebihan dibanding metode melahirkan yang lain. Penelitian
menunjukan, bahwa water birth
cendrung mempercepat keseluruhan proses persalinan (Danuatmaja dan Meiliasari,
2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar