Sabtu, 02 Juni 2012

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas terhadap Kemampuan Klien Mengontrol Halusinasinya


Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan (Mardjono, dalam Hawari, 2007). Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Setyonegoro, dalam Hawari, 2007).
Data World Health Organization (WHO), menyebutkan bahwa masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO tahun 2001 menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan jiwa. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Sementara itu di Asia Tenggara, hampir satu per tiga dari penduduk di wilayah asia tenggara pernal mengalami gangguan neuropsikiatri, sedangkan di Indonesia dari dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa (Yosep, 2009). Menurut Suryani (2008), kecenderungan masyarakat Bali mengalami gangguan jiwa setiap tahunnya bertambah rata-rata 100-150 orang. Menurut Gubernur Bali, dalam sambutan pembukaan Konas Jiwa VII di Sanur, disebutkan bahwa penduduk di Bali, dengan jumlah penduduk sekitar 3.891.428 jiwa,  dimana prevalensi gangguan jiwa, ansietas dan depresi sebesar 9,8%, prevalensi gangguan jiwa berat sebesar 3 per 1.000 orang penduduk.
Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (neurosa) dan gangguan jiwa berat (psikosis). Psikosis sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang untuk berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari. Skizofrenia merupakan salah satu bentuk psikosis yang sering dijumpai. Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi, yaitu gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 2005).
Halusiansi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita.  Halusinasi terdiri dari 4 tahapan, yaitu tahap comforting, tahap condeming, tahap controling, dan tahap conquering (Yosep, 2009). Menurut Stuart dan Sundeen (2006), 70% klien mengalami halusinasi auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil dan penciuman. Halusinasi yang tidak mendapatkan pengobatan maupun perawatan, lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan perilaku seperti agresi, bunuh diri, menarik diri dari lingkungan dan dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Tindakan pengobatan (medis) yang dapat dilakukan kepada klien dengan halusinasi yaitu pengobatan psikofarmaka dan terapi kejang listrik (Maramis, 2005). Penatalaksanaan klien dengan perilaku halusinasi di RSJ Provinsi Bali selama ini lebih menekankan pada medikasi antipsikotik berupa pemberian obat-obat psikofarmaka dalam perbaikan klinis. Menurut Maramis (2005), medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia dengan gejala penyertanya, disamping itu penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis, seperti psikoterapi suportif individual atau kelompok. Salah satu terapi keperawatan jiwa yang dapat mendukung psikoterapi suportif pada pasien gangguan jiwa adalah Terapi Aktivitas Kelompok (TAK), salah satunya adalah TAK orientasi realitas. TAK orientasi realitas di RSJ Provinsi Bali belum dilakukan secara rutin dan belum adanya SOP TAK orientasi realitas yang mengantur pelaksanaan TAK orientasi realitas.
TAK orientasi realtas adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan atau tempat dan waktu. Klien dengan gangguan jiwa mengalami penurunan daya nilai realitas (reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu dan orang-orang disekitarnya, termasuk halusinasi yang dialaminya. Untuk menangulangi hendaya, maka perlu diberikan aktivitas yang memberikan stimulus secara konsisten kepada klien tentang realitas disekitarnya. Menurut Keliat dan Akemat (2005), aktivitas yang dilakukan pada TAK orientasi realitas dilakukan sebanyak 3 sesi, berupa aktivitas pengenalan orang, tempat dan waktu. Klien yang mempunyai indikasi TAK orientasi realitas adalah klien halusinasi, dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mengenal orang lain, tempat dan waktu.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

link sumber tolong dicantumkan..

Unknown mengatakan...

Makasi sarannya!