Gangguan jiwa (mental
disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di
negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama
tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan
(Mardjono, dalam Hawari, 2007). Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap
sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif
dan tidak efisien (Setyonegoro, dalam Hawari, 2007).
Data World
Health Organization (WHO), menyebutkan bahwa masalah gangguan jiwa di
seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO tahun 2001
menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami
masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang
mengalami gangguan jiwa. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena
bunuh diri setiap tahunnya. Sementara itu di Asia Tenggara, hampir satu per
tiga dari penduduk di wilayah asia tenggara pernal mengalami gangguan
neuropsikiatri, sedangkan di Indonesia dari dari Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT), diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita
gangguan jiwa (Yosep, 2009). Menurut Suryani (2008), kecenderungan masyarakat Bali mengalami gangguan jiwa
setiap tahunnya bertambah rata-rata 100-150 orang. Menurut Gubernur
Bali, dalam sambutan pembukaan Konas Jiwa VII di Sanur, disebutkan bahwa
penduduk di Bali, dengan jumlah penduduk sekitar 3.891.428 jiwa, dimana prevalensi gangguan jiwa, ansietas dan
depresi sebesar 9,8%, prevalensi gangguan jiwa berat sebesar 3 per 1.000 orang
penduduk.
Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu gangguan jiwa ringan (neurosa)
dan gangguan jiwa berat (psikosis).
Psikosis sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan untuk
berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam
kemampuan seseorang untuk berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan
sehari-hari. Skizofrenia merupakan salah satu bentuk psikosis yang sering
dijumpai. Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami
halusinasi, yaitu gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 2005).
Halusiansi adalah suatu persepsi yang salah tanpa
dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”,
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita. Halusinasi terdiri dari 4 tahapan, yaitu tahap
comforting, tahap condeming, tahap controling, dan tahap conquering
(Yosep, 2009). Menurut Stuart dan Sundeen (2006), 70% klien mengalami
halusinasi auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil
dan penciuman. Halusinasi yang tidak mendapatkan pengobatan maupun perawatan,
lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan perilaku seperti agresi, bunuh diri,
menarik diri dari lingkungan dan dapat membahayakan diri sendiri, orang lain
dan lingkungan.
Tindakan pengobatan (medis) yang dapat dilakukan
kepada klien dengan halusinasi yaitu pengobatan psikofarmaka dan terapi kejang
listrik (Maramis, 2005). Penatalaksanaan klien dengan perilaku halusinasi di RSJ Provinsi Bali selama ini lebih menekankan pada
medikasi antipsikotik berupa pemberian obat-obat psikofarmaka dalam perbaikan
klinis. Menurut Maramis (2005), medikasi antipsikotik adalah inti dari
pengobatan skizofrenia dengan gejala penyertanya, disamping itu penelitian telah menemukan bahwa intervensi
psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis, seperti psikoterapi suportif individual
atau kelompok. Salah satu terapi keperawatan jiwa yang dapat mendukung
psikoterapi suportif pada pasien gangguan jiwa adalah Terapi Aktivitas Kelompok
(TAK), salah satunya adalah TAK orientasi realitas. TAK orientasi realitas di
RSJ Provinsi Bali belum dilakukan secara rutin dan belum adanya SOP TAK
orientasi realitas yang mengantur pelaksanaan TAK orientasi realitas.
TAK orientasi realtas adalah upaya untuk
mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain,
lingkungan atau tempat dan waktu. Klien dengan gangguan jiwa mengalami
penurunan daya nilai realitas (reality
testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu dan orang-orang
disekitarnya, termasuk halusinasi yang dialaminya. Untuk menangulangi hendaya,
maka perlu diberikan aktivitas yang memberikan stimulus secara konsisten kepada
klien tentang realitas disekitarnya. Menurut Keliat dan Akemat (2005),
aktivitas yang dilakukan pada TAK orientasi realitas dilakukan sebanyak 3 sesi,
berupa aktivitas pengenalan orang, tempat dan waktu. Klien yang mempunyai
indikasi TAK orientasi realitas adalah klien halusinasi, dimensia, kebingungan,
tidak kenal dirinya, salah mengenal orang lain, tempat dan waktu.
2 komentar:
link sumber tolong dicantumkan..
Makasi sarannya!
Posting Komentar