Selasa, 14 Juli 2009

Askep Jiwa

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI

A. PENGERTIAN

1. Persepsi

Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi : proses penerimaan rangsang.

Jadi gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal.

2. Halusinasi

Merupakan salah satu gangguan persepsi, dimana terjadi pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan sensorik (persepsi indra yang salah). Menurut Cook dan Fotaine (1987), halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan), sedangkan menurut Wilson (1983), halusinasi adalah gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu baik.

B. FAKTOR PENYEBAB HALUSINASI

Menurut Yosep (2009), faktor risiko penyebab terjadinya halusinasi dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Faktor predisposisi

a. Faktor perkembangan

Tugas perkembangan klien yang terganggu, misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

b. Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

c. Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivvasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.

d. Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

e. Faktor genetik dan pola asuh

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor Presipitasi

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.

Menurut Rawlins dan Heacock (dalam Yosep, 2009) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :

1. Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

2. Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3. Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

4. Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan conforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu.

5. Dimensi spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk

C. RENTANG RESPON HALUSINASI

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang neurobiologis (Stuart dan Laraia, dalam Akemat 2002). Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecap, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Di antara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interprestasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima. Rentang respon tersebut digambarkan seperti pada gambar berikut :


Gambar 1. Rentang Respon Neurobiologis (Stuart dan Laraia, 2001).

D. JENIS-JENIS HALUSINASI

Menurut Stuart dan Laraia (1998), halusinasi dibagi menjadi 7 jenis meliputi : halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan (visual), halusinasi penghidu (olfactory), halusinasi pengecapan (gustatory), halusinasi perabaan (tactile), halusinasi cenesthetic, dan halusinasi kinesthetic.

1. Halusinasi Pendengaran

Klien mendengar suara-suara atau bisikan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai ke percakapan lengkap antara dua orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang-kadang dapat membahayakan.

2. Halusinasi Penglihatan

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartoon, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.

3. Halusinasi Penghidu

Membaui bau-bauhan tertentu seperti bau darah, urin, atau faeces, umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang atau demensia.

4. Halusinasi Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau faeces.

5. Halusinasi Perabaan

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati, atau orang lain.

6. Halusinasi Cenesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan, atau pembentukan urin.

7. Halusinasi Kinesthetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

E. FASE-FASE HALUSINASI

Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan keparahannya. Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.

Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.

Perilaku klien :

a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.

b. Menggerakkan bibir tanpa suara.

c. Pergerakan mata yang cepat.

d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.

e. Diam dan asyik sendiri.

2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.

Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.

Perilaku Klien :

a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah.

b. Rentang perhatian menyempit.

c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.

3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa

Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.

Perilaku Klien :

a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.

b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.

c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.

d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah.

4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.

Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.

Perilaku Klien :

a. Perilaku teror akibat panik.

b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)

c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.

d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.

e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

F. PENGKAJIAN KLIEN HALUSINASI

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu dikaji disesuaikan dengan jenis halusinasinya yaitu, sebagai berikut:

1. Jenis halusinasi

a. Halusinasi Pendengaran

Data Objektif : Bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menyedengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga.

Data Subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

b. Halusinasi Penglihatan

Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.

Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat hantu atau monster.

c. Halusinasi Penghidu

Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup hidung.

Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin, faeces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.

d. Halusinasi Pengecap

Data Objektif : Sering meludah, muntah.

Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.

e. Halusinasi Perabaan

Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.

Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa seperti tersengat listrik.

2. Isi halusinasi.

Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.

3. Waktu dan frekuensi halusinasi.

Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau bulan, pengalaman halusinasi itu muncul, bila mungkin klien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.

4. Situasi pencetus halusinasi

Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami halusinasi. Data dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelangkan muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

5. Respon klien.

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI …………….

H. RENCANA KEPERAWATAN

TUM (Tujuan umum) :

Klien tidak mengalami halusinasi

TUK (tujuan khusus) 1 :

Klien dapat membina hubungan saling percaya.

Kriteria Evaluasi :

Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi

Rencana Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :

a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.

b. Perkenalkan diri dengan sopan.

c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.

d. Jelaskan tujuan pertemuan

e. Jujur dan menepati janji

f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.

g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar

TUK 2

Klien dapat mengenal halusinasinya,

Kriteria evaluasi :

a. Klien dapat menyebutkan waktu, isi, frekuensi timbulnya halusinasi

b.iKlien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya

Rencana Tindakan :

1. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap

2. Observasi tingkah laku terkait dengan halusinasinya : bicara dan tertawa tanpa stimulus, memandang ke kiri/kanan/depan seolah-olah ada teman bicara.

3. Bantu klien mengenal halusinasinya :

a. Tanyakan apakah ada suara yang didengar.

b. Jika ada, apa yang dikatakan.

c. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi).

d. Katakan bahwa perawat akan membantu klien.

4. Diskusikan dengan klien :

a. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi.

b. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore dan malam atau jika sendiri, jengkel/sedih)

5. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah/takut, sedih, senang) beri kesempatan mengungkapkan perasaan

TUK 3

Klien dapat mengontrol halusinasinya,

Kriteria evaluasi :

a. Klien dapat menyebutkan tindakan untuk mengendalikan halusinasinya

b. Klien dapat menyebutkan cara baru

c. Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah didiskusikan dengan klien

d. Klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinasinya

e. Klien dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok

Rencana Tindakan :

1. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri dll).

2. Diskusikan manfaat dan cara yang digunakan klien.

3. Diskusikan cara baru untuk memutuskan/ mengontrol timbulnya halusinasinya:

a. Katakan : “saya tidak mau dengar kamu (pada saat halusinasi terjadi)

b. Menemui orang lain (perawat/ teman/anggota klg) untuk bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar

c. Membuat jadwal kegiatan sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul

d. Meminta keluarga/teman/perawat, menyapa jika tampak bicara sendiri

4. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap

5. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih.

6. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi.

TUK 4

Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya,

Kriteria evaluasi :

a. Keluarga dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat

b. Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi

Rencana Tindakan :

1. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami halusinasi

2. Diskusikan dengan keluarga (pada saat keluarga berkunjung/pada saat kunjungan rumah)

a. Gejala halusinasi yang dialami klien

b. Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi

c. Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah : beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama.

3. Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan : halusinasi tidak terkontrol dan risiko mencederai orang lain.

TUK 5

Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik,

Kriteria evaluasi :

a. Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping obat

b. Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar

c. Klien dapat informasi tentang penggunaan obat

Rencana Tindakan :

1. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat

2. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya

3. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (obat, pasien, cara, cara, waktu dan dosis).

DAFTAR PUSTAKA

http://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan-perubahan-sensori.pdf.

http://keperawatan-gun.blogspot.com/search/label/JIWA

Stuart G.W. and Sundeen (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed). St. Louis Mosby Year Book.

Stuart dan Laraia (2001). Principle and Practice of Psychiatric Nursing, Edisi 6, St. Louis Mosby Year Book.

Townsend. (1998). Diagnosis Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri : pedomanan Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan EGC, Jakarta (terjemahan).

Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Refika Aditama, Jakarta.

Tidak ada komentar: